HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA
(PERSPEKTIF PSIKOLOGI KONSELING DAN AL-QUR’AN)
Oleh: Abdul Hayat*
ABSTRAK
Masalah biasanya dartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidaksesuaian, atau ketidak cocokkan antara ide dan kenyataan, antara yang seharusnya dengan fakta yang ada, atau antara keinginan dan harapan dengan realitas yang terjadi.Dalam paparan ini ini mencoba mengenal hakikat masalah tersebut dan bagaimana pendekatannya atau menghadapinya menurut pandangan psikologi konseling dan keterangan Al-Qur’an sehingga masalah itu tidak mengganggu kesetabilan kepribadian kita. Perspektif psikologi konseling (Rational Emotive Therapy), masalah pada hakikatnya bukan terletak pada suatu peristiwa yang terjadi, tetapi justru pada keyakinan yang tidak rasional. Perspektif Al-Qur’an, bahwa masalah itu merupakan cubaan atau ujian dari Allah kepada setiap manusia, baik berupa kesusahan dan keburukan, maupun kebaikan atau kenikmatan.
Kata-kata kunci: Hakikat Masalah, Perspektif Psikologi Konseling, Perspektif Al-Qur’an
A. PENDAHULUAN
Semua manusia yang hidup di dunia pasti bermasalah, sebab hidup sendiri adalah bagian dari masalah, oleh karena itu seyogyanya kita hidup jangan takut dengan masalah tetapi kita mencoba memahami masalah yang ada dan menghadapinya secara rasional dan realistis.
Masalah biasanya dartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidaksesuaian, atau ketidak cocokkan antara ide dan kenyataan, antara yang seharusnya dengan fakta yang ada, atau antara keinginan dan harapan dengan realitas yang terjadi, dengan kata lain terjadinya sesuatu yang tidak dinginkan, seperti dikemukakan oleh Arikunto, yaitu sesuatu yang tidak beres, dalam arti tidak atau belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan bahwa masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan), soal, atau persoalan2. Apapun namanya, umumnya masalah itu terjadi tidak dikehendaki dan bahkan menyakitkan, sehingga bagi sebagian kita yang yang tidak mampu mengenali hakikat masalah dan tidak tahu cara menghadapinya dengan baik maka ia akan mengganggu kesetabilan pribadi, dan terjadilah pribadi bermasalah, malasuai, maladaptif, dan sejenisnya.
Dalam paparan saya kali ini mencoba mengenal hakikat masalah tersebut dan bagaimana pendekatannya atau menghadapinya menurut pandangan psikologi konseling dan keterangan Al-Qur’an sehingga masalah itu tidak mengganggu kesetabilan kepribadian kita.
Judul yang saya kemukakan di atas memang terlalu muluk, saya maksudkan dengan perspektif psikologi konseling disini hanya satu bagian kecil teori pendekatan konseling yang berkembang, begitu juga dengan Al-Qur’an, hanya bagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mampu dikemukakan dengan pemahaman yang sangat minim. Semoga bermanfaat.
B. HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA (PERSPEKTIF
PSIKOLOGI KONSELING)
Ada banyak teori dan pendekatan psikologi yang diterapkan dalam konseling, paling tidak ada sembilan teori yang sekarang ini sangat populer yaitu Psychoanalytic Therapy (Sigmund Freud), Adlerian Therapy, Existential Therapy, Person Centered Therapy (Rogers), Gestalt Therapy, Transactional Analysis, Behavior Therapy, Rational Emotive Therapy, dan Reality.Therapy. Masing-masing teori ini memandang hakikat masalah dalam sisi yang berbeda-beda begitu juga dengan pendekatan yang ditawarkan, namun maksudnya sama yaitu bagaimana agar masalah itu tidak mengganggu keseimbangan peribadi secara berlebihan.Pada sajian kali ini, saya akan mengemukakan secara singkat pandangan teori Rational Emotive Therapy dengan tokoh utamanya Albert Ellis.
1. Hakikat Masalah
Menurut pendekatan ini, manusia itu memiliki tiga potensi pokok, yaitu; (a) potensi berpikir, baik yang rasional atau lurus maupun yang tidak rasional atau bengkok, (b) kecendrungan untuk menjaga kelangsungan keadaan dirinya, keberadaannya, kebahagiaan, kesempatan memikirkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata, mencintai, berkomunikasi dengan orang lain, serta terjadinya pertumbuhan dan aktualisasi diri, (c) memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk merusak diri sendiri, menghindar dari memikirkan sesuatu, menunda-nunda, berulang-ulang melakukan kekeliruan, percaya pada takhayul, tidak memiliki tenggang rasa, menjadi perfeksionis, menyalahkan diri sendiri, dan menghindari adanya aktualisasi potensi pertumbuhan yang dimilikinya3.
Pada hakikatnya bahwa manusia itu tidak sempurna, yaitu memiliki potensi positif dan negatif, maka teori ini berusaha untuk menolong mereka untuk mau menerima dirinya sebagai makhluk yang akan selalu membuat kesalahan namun pada saat yang bersamaan juga bisa belajar hidup damai dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain orang dapat belajar mengubah pikiran mereka sehingga pikiran mereka menjadi positif dan tidak tertekan4.
Masalah atau gangguan emosional berasal dari: (a) kita mempelajari keyakinan yang tidak rasional adalah dari orang lain yang signifikan pada masa kanak-kanak, (b) kita sendirilah yang menciptakan dogma dan takhayul (superstitions) yang tidak rasional itu, kemudian (c) secara aktif kita menamkan kembali keyakinan keliru itu dengan jalan memproses sugesti pada diri sendiri (autosuggestion) dan pengulangan sendiri (self-repetition)5.
Jadi yang menjadikan sikap disfungsional tetap hidup dan beroperasi dalam diri kita adalah karena sebagian besar pengulangan yang kita buat sendiri terhadap pikiran tidak rasional yang diindoktrinasikan kepada kita dulu, bukan pengulangan dari orang tua.
Masalah yang mengganggu kepribadian seperti duka, menyesal, dan frustasi hakikatnya adalah merupakan hasil pemikiran irasional. Kualitas irasionalnya berasal dari tuntutan agar dunia ini seharusnya, seyogyanya, dan harus berbeda.yang bersifat mutlak Jadi masalah itu bukan peristiwa yang terjadi, tetapi pada pemikiran kita tentang hal yang terjadi itu.
Berikut ini adalah beberapa ide tidak rasional yang kita internalisasi dan yang pasti membawa ke penggagalan diri 6
a. Saya harus dicintai atau diterima oleh semua orang penting dalam hidup saya.
b. Saya harus melakukan tugas penting secara kompeten dan sempurna.
c. Oleh karena saya sangat menginginkan agar orang memperlakukan saya dengan penuh pengertian dan jujur, maka mereka mutlak harus berbuat seperti itu.
d. Apabila saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan maka itu merupakan hal yang sangat tidak menyenangkan dan saya tidak tahan.
e. Lebih mudah menghindari kesulitan hidup dan pertanggungan jawab dari pada melakukan suatu bentuk disiplin diri yang menjanjikan keuntungan.
Ellis menggambarkan hakikat masalah ini dengan konsep berikut: Activating event (A), Belief (B) dan Emotional Consequence (C), yang dikenal dengan teori A-B-C.7
Diagram berikut ini akan menjelaskan interaksi dari ketiga komponen tersebut.
A (Activating event) B (belief) C (emotional and behavioral consequence)
A, adalah keberadaannya fakta, suatu peristiwa, atau perilaku atau sikap seorang individu.
B, yaitu keyakinan si pribadi pada (A), pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa.
C adalah konsekuensi emosi dan perilaku ataupun reaksi si individu; reaksi itu bisa cocok, bisa juga tidak.
Peristiwa yang sedang berjalan pada (A) tidak menjadi penyebab pada (C/konsekuensi emosi), melainkan (B/keyakinan si pribadi pada A) yang banyak menjadi penyebabnya. Misalnya, apabila seseorang mengalami depresi setelah bercerai dengan suami/isterinya, mungkin bukan perceraian (A) itu sendiri yang menjadi penyebab reaksi dalam bentuk depresi, tetapi keyakinan si individu (B) bahwa ia gagal, merasa ditolak, atau kehilangan sangan yang menjadi enyebabnya8.
2. Pendekatan yang Dilakukan
Pendekatan yang dilakukan setelah mengetahui hakikat masalah ini adalah melakukan disputing intervention (meragukan /membantah) (D) terhadap keyakinan dan pemikiran yang tidak rasional pada (B) agar berubah kepada keyakinan, pemikiran dan falsafah rasional yang baru (E), sehingga lahir (F) yaitu perangkat perasaan yang baru. Kita tidak lagi merasakan cemas yang sungguh-sungguh atau merasa tertekan, melainkan kita merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada.
Teori ABC dan pendekatannya DEF dari Ellis ini kalau digambarkan dalam bentuk bagan kurang lebih demikian:
A B C
(activating event) (belief) (emotional and behavioral consequence)
D E ) F
(disputing intervention) (effect) (new feeling)
Setelah A, B, dan C maka munculah D,E, dan F.
D, adalah yang meragukan /membantah (disputing intervention). Pada isensinya merupakan aplikasi dari metode ilmiah untuk menolong klien menantang keyakinan irasional mereka. Ellis dan Bernard (1986) melukiskan tiga komponen dari proses meragukan/membantah ini: (1) mendeteksi, (2) memperdebatkan, (3) dan mendiskriminasi.
Pertama, klien belajar caranya mendeteksi keyakinan irasional mereka, terutama kemutlakan seharusnya dan harus, sifat berlebihan, dan pelecehan pada diri-sendiori.
Kedua, klien memperdebatkan keyakinan yang disfungsional itu dengan belajar cara mempertanyakan semuanya itu secara logis dan empiris dan dengan sekuat tenaga mempertanyakannya pada diri sendiri serta berbuat untuk tidak mempercayainya.
Ketiga, klien belajar untuk mendiskriminasi keyakinan yang irasional dan yang rasionil.
E, adalah falsafah efektif, yang memiliki segi praktis. Falsafah rasional yang baru dan efektif terdiri dari menggantikan pikiran yang tidak pada tempatnya dengan yang cocok. Apabila kita berhasil dalam melakukan ini, kita juga menciptakan F.
F, adalah perangkat perasaan yang baru. Kita tidak lagi merasakan cemas yang sungguh-sungguh atau merasa tertekan, melainkan kita merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada. Sebab cara yang paling baik untuk memulai merasa labih baik adalah mengembangkan falsafah yang efektif dan rasionil. Jadi, orang tidak lalu menyalahkan diri sendiri serta menghukum diri sendiri berupa depresi karena terjadinya perceraian, melainkan orang akan mencari kongklusi yang rasionil dan berdasarkan empiri: “Baiklah, saya benar-benar menyayangkan karena perkawinan kita tidak berjalan mulus dan harus bercerai. Meskipun saya ingin kita bisa menyelesaikan berbagai masalah, ternyata kita tidak menyelesaikannya, tetapi dunia tidak akan kiamat karenanya. Oleh karena perkawinan kita gagal tidak lalu berarti bahwa saya orang yang gagal dalam hidup ini, dan amatlah bodoh kalau saya terus-menerus menyalahkan diri saya sendiri dan mengatakan saya yang bertanggung jawab atas perceraian itu”. Menurut teori ini, akibat akhir adalah meminimalkan perasaan depresi dan mengutuk diri sendiri.
Menurut Ellis (1988) secara singkat restrukturisasi filosofis untuk bisa mengubah kepribadian kita yang disfungsional mencakup langkah-langkah berikut: (1) mengakui sepenuhnya bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas terciptanya masalah yang kita alami; (2) mau menerima pendapat bahwa kita memiliki kemampuan untuk secara signifikan mengubah gangguan-gangguan ini; (3) mengakui bahwa masalah emosional kita banyak berasal dari keyakinan yang irasional; (4) dengan jelas mengamati keyakinan ini; (5) melihat nilai dari sikap meragukan keyakinan yang bodoh itu, dengan menggunakan metode yang tegas; (6) menerima kenyataan bahwa apabila kita mengharapkan adanya perbaikan kita sebaiknya kerja keras dengan cara emotif behavioral untuk mengadakan kontra aksi terhadap keyakinan kita itu dan perasaan serta perbuatan yang disfungsional yang mengikutinya; dan (7) mempraktekkan metode terapi rasional emotif untuk mencabut atau mengubah konsekuensi yang mengganggu itu di sisa kehidupan kita.
Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki dua kapasitas berikut.
a. Pribadi yang mampu berpikir secara rasional,.sebab apabila kita mampu berpikir secara rasional dalam menghadapi segala pristiwa maka kita tidak akan mengalami tekanan, memusuhi, mengasihani diri 9. Dengan kata lain, dengan penolakan keyakinan-keyakinan irasional yang dilakukan dengan cara berpikir logis-empirik dapat meminimalkan atau bahkan memperbaiki emosi yang malasuai.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, H.B. 2001. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Al-Gazali, 1989. Ihya ‘Ulumuddin. Beirut: Darul fikri.
Al-Maraghi M., 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. Darul Fikri.
Arikunto.S. 1995 Manajemen Penelitian, Jakarta: PT.Renika Cipta,
Corey, G. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Cottone, R.R. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom.
Departemen Agama RI. 1984/1985. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV / Tahun I.
Depdikbud, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Latipun, 2001. Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhammdiyah Malang.
Munawwir, A.W. 1994. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir.
Madjid, N. 1997. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Shihab, M.Q. 1996. Wawasan Al Qur’an. Penerbit Mizan. Khazanah Ilmu-Ilmu Islam.
* Adalah Dosen Fakultas tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin
1 Arikunto.S. Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT.Renika Cipta, 1995) h.28.
2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) h. 562.
3 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.320.
4 Cottone, R.R., Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. (Boston: Allyn and Bacom, 1992) h. 114
5 Corey, Op cit, hal 321
6 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.323.
7 Cottone, R.R., Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. (Boston: Allyn and Bacom, 1992) h. 114
8 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.323.
9 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.464.
10 Madjid, N., Kaki Langit Peradaban Islam. (Jakarta: Penerbit Paramadina1997) h.51
11 Al-Maraghi M., Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. Darul Fikri, 1993) h.62.
12 Al-Gazali, Ihya ‘Ulumuddin. Beirut: Darul fikri, 1989) h.122.
13 Shihab, M.Q., Wawasan Al Qur’an. (Penerbit Mizan. Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, 1966). H.562.
14 Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994) h.1532.
15 Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994) h.415
17 Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994) h.1147.
18 Ibid, h. 482
19 Al-Maraghi M., Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. (Darul Fikri, 1993) h.199.
b. Mau menerima diri kita sendiri meskipun ada ketidak sempurnaan pada diri kita. Jadi apapun adanya yang terjadi pada diri kita, kemampuan kita, kita terima dengan perasaan, sikap dan tindakan yang wajar. Misalnya, menurut teori ini bahwa orang tidak perlu harus diterima dan dicintai, meskipun hal itu merupakan yang sangat diinginkan. Jadi tuntutan harus yang bersifat mutlak itu tidak perlu selalu dikuti dan dipenuhi.
Sedang pribadi yang tidak sehat adalah pribadi yang terbelenggu oleh ide tidak rasional dan suka menyalahkan diri sendiri maupun orang lain. Menurut teori ini bahwa menyalahkan merupakan inti dari sebagian besar gangguan emosional
C. HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA (PERSPEKTIF
AL-QUR’AN).
1. Hakikat Masalah
Menurut beberapa keterangan ayat Al-Qur’an bahwa masalah itu tidak lain adalah sebuah cobaan atau ujian dari Allah Swt. Kepada manusia sebagai hamba-Nya. Semua manusia pasti menghadapi masalah, sebab Allah telah memberikan beberapa ujian atau cobaan kepada hamba-hamba-Nya dengan beberapa hal. Antara lain seperti diterangkan dalam firman Allah berikut.
Firman Allah Swt.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan (kecemasan), kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S.Al-Baqarah;155).
Masalah yang pada hakikatnya adalah cobaan atau ujian dari Allah kepada para manusia (hamba-Nya) yang harus diterima dan diatasi dengan baik dan benar, tidak hanya hal-hal yang menyakitkan atau yang pada umumnya tidak disenangi, tetapi juga bisa berupa cobaan yang baik, sesuatu yang menyenangkan dan dikehendaki umumnya manusia, seperti kekayaan, kedudukan yang tinggi, jabatan yang empuk, dan sebagainya, dan hal seperti inipun hakikatnya juga masalah.
Firman Allah Swt.
ولَنبلونكم بالشر والخير فتنة والينا ترجعون (الانبياء:35)
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya:35).
2. Pendekatan yang Dilakukan
Dalam beberapa isyarat ayat Al-Qur’an bahwa dalam menghadapi masalah yang dihadapi baik masalah itu berupa cobaan yang menyakitkan atau buruk maupun cobaan yang baik, juga dengan berpikir rasional, yaitu dengan memfungsikan akal secara maksimal. Potensi akal yang dimiliki manusia memang mampu mengatasi masalah yang dihadapi apabila ia digunakan atau difungsikan secara baik, bahkan dengan akal pula manusia mampu berkarya dan mengelola alam semesta ini. Keterangan Al Qur’an tentang potensi akal yang dimiliki manusia dalam Al-Qur’an banyak sekali disebutkan, dengan akal inilah manusia mampu hidup berkembang, mengelola diri dan dunianya.
Menurut Taymiyah, kata ‘aql adalah mashdar (kata benda-kerja, verbal noun) dari kata kerja aqala-ya’qulu, yang berarti “menggunakan akal” atau “berpikir”, dan yang dimaksudkan dengan akal ialah pembawaan naluri atau gharizah yang diciptakan Allah dalam diri manusia, yang dengan naluri itu ia berpikir.10
Diantara ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang akal antara lain sebagai berikut.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (Q.S. Al-Baqarah: 164).
Melihat keterangan ayat di atas dapat dikatakan bahwa akal adalah daya pikir yang ada pada manusia yang mampu digunakan untuk mengelola isi alam dengan segala pristiwanya. Al-Maraghi dalam tafsirnya juz 2, menerangkan ayat di atas bahwa pada semua gejala itu terdapat petunjuk bagi orang-orang yang berpikir untuk mengetahui watak dan rahasia-rahasianya. Dengan demikian dapat dibedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan, disamping dapat diketahui betapa teliti dan halusnya kekuasaan Maha Pencipta. Akhirnya akan sampai pada kesimpulan bahwa yang menciptakan semua ini berhak untuk disembah dan ditaati. Dalam hal ini tentunya termasuk segala cobaan dan ujian yang dihadapinya.11
Kesempurnaan alam semesta dengan segala sunnatullah (hukum alam) yang berlaku dan diciptakan Allah untuk kepentingan hidup manusia merupakan lahan yang harus dipikirkan dan diolah oleh manusia dengan kemampuan akalnya untuk kemakmuran manusia sendiri. Firman Allah Swt.
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkan (Q.S. Al Hadid: 17).
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya (Q.S.Al-Baqarah: 242).
Potensi akal sangat besar artinya bagi kehidupan manusia, sebab dengan akal maka manusia mampu memahami ayat-ayat Allah Swt., baik ayat-ayat Allah yang diciptakan-Nya berupa alam semesta ini (ayat kauniah), maupun ayat-ayat Allah yang difirmankan-Nya berupa kitab-kitab suci yang memuat firman-Nya (ayat qauliah).
Al-Gazali menerangkan, fungsi akal kepada dua hal yaitu: (1) mengetahui hakikat segala sesuatu. Dalam hal ini akal mengibaratkan sifat ilmu yang terletak di hati, (2) yang menangkap dan mendapat segala ilmu. Kekuatan akal yang dimiliki oleh manusia inilah yang bisa membuat manusia mampu menmgatasi masalah atau mengelola dirinya dan alam sebagai lingkungannya12, sebagaimana dikemukakan oleh Syihab, bahwa daya akal memungkinkan manusia memiliki kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan sunnatullah. Karena memiliki akal inilah manusia merupakan makhluk yang berkembang dan berbudaya13.
Aktivitas akal dalam proses berpikir rasional dalam Al Qur’an juga disebut dengan beberapa istilah, yaitu: nazhara, tadabbur, tafakkur, tafaqquh,dan tadzakkur.
Nazhara, secara bahasa berarti melihat, memandang, merenungkan, memikirkan dan mempertimbangkan14, yang dimaksud adalah melihat sambil memikirkan berbagai obyek ciptaan Allah yang nampak terlihat, seperti manusia sendiri, binatang, tumbuh-tumbuhan, gunung, bumi dan langit dan sebagainya. Firman Allah Swt.
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan (Q.S. At-Thariq:5).
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ , وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ, وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ, وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan?, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?, dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (Q.S. Al-Ghasyiah:17-20).
Tadabbur, menurut bahasa berarti memikirkan, mempertimbangkan15, maksudnya adalah memikirkan tentang ayat-ayat Allah yang difirmankannya yaitu isi kandungan Al Qur’an. Firman Allah Swt.
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (Q.S.Shaad:29).
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad:24).
Tafakkur, menurut bahasa artinya memikirkan16, maksudnya adalah memikirkan berbagai pristiwa dan berbagai keunikan ciptaan Allah, sehingga timbul kesadaran akan kebesaran dan keagungan Allah Swt. Firman Allah Swt.
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ. ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan (Q.S. An-Nahl:68-69).
Tafaqquh, artinya mengerti, memahami17, maksudnya memahami perintah dan larangan Allah (Agama) untuk diamalkan dalam kehidupan. Firman Allah Swt.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan juang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q.S. At-Taubah: 122).
Tadzakkur, artinya mengingat18, maksudnya mengingat kebesaran Allah dalam kaitan dengan berbagai kesempurnaan ciptaan-Nya sambil memikirkan dan mengambil pelajaran. Firman Allah Swt.
أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لَا يَخْلُقُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak menciptakan (apa-apa)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S. An-Nahl:17).
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Q.S. Adz-Dzariyat:49).
Di samping manusia memiliki akal dan mampu berpikir rasional, tetapi ada juga manusia yang tidak mau menggunakan akalnya secara maksimal, mereka cenderung berpikir tidak rasional, sehingga Allah mengumpamakan orang yang tidak memfungsikan akalnya dengan benar sebagai binatang yang sangat buruk. Firman Allah Swt.
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُون
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun (Q.S. Al-Anfaal: 22).
Pada sisi yang lain ada pula manusia dengan akal dan kepandaian yang dimiliki sehingga merasa besar diri terlalu mengagungkan akal dan kemampuannya menjadikannya sesat dan tidak mau menerima kebenaran dari Allah atau menyimpang dari fitrahnya. Firman Allah.
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Q.S. Al-Baqarah: 75).
Jadi pribadi yang sehat itu adalah pribadi yang mau menggunakan akal untuk berpikir rasional secara maksimal dalam menghadapi masalah yang terjadi. Al Qur’an juga melarang menuruti ide-ide yang tidak rasional seperti kata pasti, tahayul, dan keyakinan yang bersifat muthlak,
Beberapa petunjuk Al Qur’an yang cukup rasional dalam mendekati permasalahan, antara lain sebagai berikut.
1. Menyadari bahwa tidak semua usaha dan ikhtiyar kita selalu sukses dan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan, sebab manusia banyak memiliki keterbatasan, sehingga sebaiknya kita gunakan prinsif Insya’ Allah (jika Allah berkenan) dalam setiap usaha dan tindakan,
Firman Allah Swt.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا, إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
Janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan menyebut): “Insya-Allah” Ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kepada kebenarannya ini (Q.S. Al Kahfi: 23-24).
2. Meyakini bahwa disamping kesusahan pasti ada kemudahan. Firman Allah Swt.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا, إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا, فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ, وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan ) yang lain (Q.S. Al-Insyirah: 5-8).
3. Disamping kegagalan pasti akan ada keberuntungan, asal berusaha dengan sungguh sungguh. Firman Allah.
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
Hari-hari (keberhasilan dan kegagalan) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) (Q.S. Ali-Imran: 140).
4. Meyakini bahwa apapun yang menimpa pada diri atau yang terjadi di alam ini dibalik semuanya ada hikmahnya. Firman Allah Swt.
ربَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ
Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (Q.S. Ali-Imran: 191).
5. Bersikap sabar dalam menghadapi masalah. Firman Allah.
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S.Al-Baqarah;155).
6. Mengembalikan segala sesuatu kepada kekuasaan Allah dengan selalu tawakkal kepada Allah dalam setiap melakukan usaha dan tindakan. Firman Allah.
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِين
Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertawakal kepada-Nya (Q.S. Ali-Imran: 159).
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Anfal: 49).
َ
Sikap tawakal bukanlah sikap pasrah, menyerah, dan hanya menunggu kemurahan Allah, tetapi yang dimaksud adalah setelah melalui usaha manusia yang sungguh-sungguh, berencana dan memiliki perhitungan yang mantap, setelah itu baru menyerahkan urusannya kepada yang Maha Menentukan yaitu Allah Swt. Imam A-Razi dalam Al Maraghi juz 4, menerangkan bahwa pengertian tawakkal bukan berarti manusia melupakan andil dirinya, tetapi hendaklah seseorang dalam berusaha selalu memperhatikan sebab-sebab lahiriyah yang bisa mengantarkannya ke arah keberhasilan. Hanya saja janganlah percaya penuh terhadap sebab-sebab lahiriyah tersebut, bahkan ia harus berkeyakinan bahwa yang dilakukannya hanyalah untuk memelihara hikmah Ilahi semata 19.
Orang yang tawakal dalam hidupnya apabila ternyata kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan akan bisa tabah dan sabar menerimanya, sebaliknya apabila tercapai kesuksesan atau sesuai harapan dan kenyataan maka ia tidak mabuk dalam kegembiraan, sebab mereka yakin bahwa semua yang dilakukan itu tidak terlepas dari sunanatullah yang berlaku.
D. PENUTUP
Berdasarkan beberapa uraian yang telah dipaparkan, maka penulis tutup dengan beberapa kesimpulan.
1. Perspektif psikologi konseling (Rational Emotive Therapy-Albert Ellis), masalah pada hakikatnya bukan terletak pada suatu peristiwa yang terjadi, tetapi justru pada keyakinan yang tidak rasional.
2. Keyakinan yang tidak rasional itu bisa berupa tuntutan-tuntutan kemutlakan dan tahayul.
3. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan berpikir secara rasional untuk membantah dan memperdebatkan berbagai keyakinan yang irasional, sehingga timbul falsafah baru yang rasional dan realistis.
4. Perspektif Al-Qur’an, bahwa masalah itu merupakan cubaan atau ujian dari Allah kepada setiap manusia, baik berupa kesusahan dan keburukan, maupun kebaikan atau kenikmatan, dimana manusia akan mendapatkan keberuntungan apabila mampu menerima dan mengatasi cobaan tersebut secara baik dan benar.
5. Disamping berpikir rasional dengan memfungsikan akal secara maksimal dalam mendekati masalah, ada beberapa ide yang ditawarkan Al-Qur’an, yaitu: prinsip insya Allah bahwa segala usaha dan ikhtiyah tidak mesti akan selalu sesuai dengan harapan, meyakini bahwa disamping kesusahan pasti akan ada kemudahan, kesusahan dan keberuntungan akan selalu bergulir dalam kehidupan, segala yang terjadi pasti ada hikmahnya, bersikap sabar, dan sikap tawakkal kepada Allah Swt. Atas segala usaha yang telah dilakukan dengan sungguh-sungguh, terencana, dan penuh perhitungan.
Pak, "makalahnya" bagus... Tapi, daftar pustakanya tidak ada. Saya membutuhkan bacaan yang bapak gunakan untuk tulisan yang bapak buat.Mohon diperhatikan, terima kasih.
ReplyDelete