BAB II
LANDASAN TEORI
Peneliti Bayu W dan Setiyo Purwanto
A. Kepercayaan Diri
1. Pengertian Kepercayaan Diri
Secara terminologis kata percaya berarti yakin bahwa menang, benar atau menganggap pasti, jujur, kuat, baik dan sebagainya. Jadi, rasa percaya diri dapat berarti seseorang merasa yakin bahwa dirinya benar, kuat dan baik (Poerwadarminta, dalam Kusuma, 2005 ).
Rasa percaya diri adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri sehingga rasa percaya diri juga disebut sebagai harga diri atau gambaran diri. (Santrock, 2003).
Kepercayaan diri secara sederhana bisa dikatakan sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya. (Hakim, 2002). Kepercayaan diri mendorong seseorang untuk mencoba bidang bidang identitas baru, mengambil resiko positif, memajukan diri sendiri, dan mengembangkan kecakapan (Ellias, 2002).
Menurut Kumara (1992) orang yang memiliki percaya diri merasa yakin akan kemampuan dirinya sehingga dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya, serta mempunyai sikap positif yang didasari keyakinan akan kemampuannya.
Kepercayaan diri atau self confidence oleh Bandura (dalam Amalia, 2005) didefinisikan sebagai suatu keyakinan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan yang diharapkan dan diinginkan. Breneche dan Amich (dalam Amalia, 2005) menjelaskan kepercayaan diri merupakan suatu perasaan cukup aman dan tahu apa yang dibutuhkan dalam kehidupannya sehingga tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dalam menentukan standar. Sebagian besar orang menganggap percaya diri adalah keyakinan pada kemampuan-kemampuan sendiri, keyakinan pada adanya sesuatu maksud di dalam kehidupan, dan kepercayaan bahwa, dengan akal dan budi, individu akan mampu melaksanakan apa yang akan individu tersebut inginkan, rencanakan, dan harapkan (Davies, 2004).
Menurut Sarason (dalam Kusuma, 2005) kepercayaan diri terbentuk dan berkembang melalui proses belajar baik secara individual maupun secara sosial. Secara individual, kepercayaan diri berkembang melalui pengalaman psikologis. Sedangkan proses belajar secara sosial kepercayaan diri diperoleh melalui interaksi individu dalam kegiatannya dengan orang lain.
Selain itu pendapat Dink Meer dan Loboncy (dalam Kusuma, 2004) pembentukan kepercayaan diri bersumber dari pengalaman pribadi yang dialami seseorang dalam perjalanan hidupnya. Menurut Anthony (1992) kepercayaan diri merupakan sikap pada diri seseorang yang dapat menerima kenyataan, dapat mengembangkan kesadaran diri, berfikir positif, memiliki kemandirian, dan mempunyai kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala sesuatu yang diinginkannya. Hal senada juga diungkapkan oleh Santoso (dalam Ihdayati, 2000) bahwa rasa percaya diri muncul apabila individu dapat belajar mengenai diri sendiri dengan mencatat sebanyak mungkin aspek yang dimiliki, serta menerima diri apa adanya dengan segala aspek positif maupun negatif.
Sedangkan menurut Hambly (1989) kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan dan mampu menanggapi segala situasi dengan tenang. Pendapat ini didukung oleh Adler (dalam Kusuma, 2005), bahwa kepercayan diri seseorang muncul dengan adanya perasaan kompeten atau merasa dirinya mampu.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Kepercayaan diri adalah keyakinan individu dan kemampuan diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain, optimis dalam menghadapi permasalahan dan dapat mengatasinya dengan solusi yang tepat serta dapat bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambilnya, berpikiran positif sehingga mampu menghadapi suatu masalah dengan tenang.
2. Ciri-ciri Orang yang Memiliki Kepercayaan Diri
Anthony (1992) berpendapat bahwa individu yang mempunyai kepercayaan diri cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada orang lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan memperhatikan situasi dari sudut kenyataan.
Angelis (1997) mengemukakan bahwa kepercayaan diri yang dimiliki individu ditandai dengan:
a. Keyakinan atas kemampuan diri sendiri untuk melakukan sesuatu. Individu mempunyai keyakinan atas kemampuan diri yaitu sikap positif seseorang tentang dirinya bahwa ia mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya.
b. Keyakinan atas kemampuan menindaklanjuti segala perkara sendiri secara konsekuen. Yaitu mampu bertanggung jawab dengan kesediaan orang untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.
c. Keyakinan atas kemampuan pribadi dalam menanggulangi segala kendala. Merasa yakin bahwa dengan kemampuan yang dimiliki, mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.
d. Keyakinan atas kemampuan untuk memperoleh bantuan. Dengan mengerti kekurangan yang ada pada diri sendiri, dapat menerima pendapat orang lain dan memberi kesempatan pada orang lain. Dengan adanya kemampuan seperti itu, membuat individu mudah untuk memperoleh bantuan dari orang lain apabila sedang mengalami kesulitan.
Tidak jauh beda dengan ciri-ciri yang diuraikan di atas, Guillford (dalam Amalia, 2005) menyatakan bahwa orang mempunyai kepercayaan diri memiliki ciri-ciri :
a. Merasa kuat terhadap apa yang dilakukan. Merasa yakin terhadap apa yang telah dilakukan dengan kemampuan sendiri.
b. Merasa dapat diterima oleh kelompoknya. Dengan kelebihan yang ada sehingga tidak merasa ragu lagi akan penolakan dari kelompok.
c. Percaya sekali pada dirinya sendiri serta mempunyai ketenangan sikap. Yakin pada kemampuan diri sehingga tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.
d. Merasa bebas untuk menentukan dirinya. Dengan adanya kemampuan pada diri, sehingga tidak tergantung dengan orang lain.
e. Dapat berkomunikasi dengan orang lain. Mampu untuk bersosialisasi dengan baik dengan tidak mementingkan diri sendiri.
f. Mempunyai pandangan aktif. Selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuan.
Orang yang percaya diri yakin akan kemandiriannya, yakin pada dirinya sendiri sehingga tidak secara berlebihan mementingkan dirinya sendiri yang mengarah ke congkak, cukup toleran, selalu optimis, dan tidak perlu baginya untuk melakukan kompensasi dari keterbatasannya (Kumara, 1992).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki kepercayaan diri adalah keyakinan atas kemampuan diri sendiri untuk melakukan sesuatu, menindaklanjuti segala perkara, menanggulangi segala kendala, dan dapat berkomunikasi dengan orang lain.
3. Aspek-Aspek Kepercayaan Diri
Menurut Lauster (1997, dalam Lia 2004) orang yang memiliki kepercayaan diri yang positif adalah :
a. Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif seseorang tentang dirinya bahwa mengerti sungguh sungguh akan apa yang dilakukannya.
b. Optimis yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuan.
c. Obyektif yaitu orang yang percaya diri memandang permasalahan atau segala sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri,
d. Bertanggung jawab yaitu kesediaan seseorang untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.
e. Rasional dan realistis yaitu analisa terhadap suatu masalah, suatu hal, sesuatu kejadian dengan mengunakan pemikiran yang diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan.
Jersild (dalam Kusuma, 2005), mengemukakan bahwa kepercayaan diri ditandai oleh kemampuan diri tanpa terpengaruh sikap atau pendapat orang lain, merasa optimis, tidak cemas, tidak khawatir, serta tidak ragu ragu dalam menghadapi masalah dan mengambil keputusan.
Menurut Anthony (1992), aspek kepercayan diri adalah:
a. Rasa aman. Terbebas dari perasaan takut, tidak ada kompetensi terhadap situasi atau orang orang disekitarnya.
b. Ambisi normal. Ambisi disesuaikan dengan kemampuan, tidak ada kompetensi dari ambisi yang berlebihan, dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan bertanggung jawab.
c. Yakin pada kemampuan diri. Merasa tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain dan tidak mudah terpengaruh dengan orang lain.
d. Mandiri. Tidak tergantung dengan orang lain dalam melaksanakan sesuatu dan tidak membutuhkan dukungan orang lain.
e. Tidak mementingkan diri sendiri atau toleransi. Mengerti kekurangan yang ada pada diri sendiri, dapat menerima pendapat orang lain dan memberi kesempatan pada orang lain.
f. Optimis. Memiliki pandangan dan harapan yang baik tentang diri sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek-aspek kepercayaan diri adalah keyakinan akan kemampuan diri, optimisme, objektif, bertanggung jawab, serta rasional dan realistis.
4. Faktor-faktor yang Mempegaruhi Terbentuknya Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:
a) Faktor internal, meliputi:
1. Konsep diri. Terbentuknya keperayaan diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Menurut Centi (1995), konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri. Seseorang yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya orang yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif.
2. Harga diri. Meadow (dalam Kusuma, 2005 ) Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. Orang yang memiliki harga diri tinggi akan menilai pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain. Orang yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi orang yang mempuyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan.
3. Kondisi fisik. Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada kepercayaan diri. Anthony (1992) mengatakan penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang. Lauster (1997) juga berpendapat bahwa ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan rasa rendah diri yang kentara.
4. Pengalaman hidup. Lauster (1997) mengatakan bahwa kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri. Lebih lebih jika pada dasarnya seseorang memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang perhatian.
b) Faktor eksternal meliputi:
1. Pendidikan. Pendidikan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Anthony (1992) lebih lanjut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada individu lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan memperhatikan situasi dari sudut kenyataan.
2. Pekerjaan. Rogers (dalam Kusuma,2005) mengemukakan bahwa bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian serta rasa percaya diri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain materi yang diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga di dapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri.
3. Lingkungan dan Pengalaman hidup. Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota kelurga yang saling berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Begitu juga dengan lingkungan masyarakat semakin bisa memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar harga diri berkembang (Centi, 1995). Sedangkan pembentukan kepercayaan diri juga bersumber dari pengalaman pribadi yang dialami seseorang dalam perjalanan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan psikologis merupakan pengalaman yang dialami seseorang selama perjalanan yang buruk pada masa kanak kanak akan menyebabkan individu kurang percaya diri (Drajat, 1995).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri pada individu, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi konsep diri, harga diri dan keadaan fisik. Faktor eksternal meliputi pendidikan, pekerjaan, lingkungan dan pengalaman hidup.
B. Pelatihan Kepercayaan Diri Menggunakan Metode Hipnosis
1. Pengertian Pelatihan
Pelatihan adalah salah satu bentuk belajar. Bentuk pelatihan yang diungkapkan oleh True Love (1995) menyatakan bahwa pelatihan adalah salah satu bentuk usaha untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu. Tujuan dari pelatihan adalah untuk meningkatkan kinerja secara langsung. Sementara itu Wills (dalam Retno, 2007) mengungkapkan bahwa pelatihan adalah pemindahan pengetahuan dan keterampilan yang terukur dan yang telah ditentukan sebelumnya, oleh karena itu pelatihan harus memiliki tujuan dan metode yang jelas untuk menguji apakah pengetahuan dan keterampilan yang diberikan sudah dapat dikuasai.
Menurut Johnson dan Johnson (dalam Retno, 2007), experiental learning dapat didefinisikan sebagai penerapan action theory terhadap pengalaman pribadi, yang kemudian secara terus – menerus memodifikasi pengalaman tersebut agar meningkat efektifitasnya. Action theory menyatakan bahwa dalam satu tindakan (action) tertentu diperlukan untuk mencapai konsekuensi yang diinginkan dalam situasi yang ditentukan. Dalam situasi tertentu jika individu melakukan x, maka akan menghasilkan y. Dengan demikian dalam action theory terdapat tiga aspek penting: situasi, tindakan dan konsekuensi dari tindakan.
Tujuan dari experiental learning adalah untuk mempengaruhi pebelajar melalui tiga cara: (1) struktur kognitif pebelajar diubah, (2) sikap pebelajar dimodifikasi, (3) daftar keterampilan pebelajar diperluas. Ketiga elemen tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (dalam Retno, 2007).
Untuk kepentingan definisi yang jelas, Menteri Pekerjaan dan Tenaga kerja Perancis (dalam Retno, 2007) bahkan telah membatasi pelatihan sebagai suatu aktivitas yang (1) Memiliki tujuan yang ditetapkan, (2) Memiliki metode pengajaran yang khusus, (3) Memiliki siswa yang khusus, (4) Memiliki rencana penerapan yang jelas, (5) Hasilnya dapat diukur.
Proses pengajaran menurut Downs (dalam True Love, 1995) adalah proses untuk meningkatkan belajar dan pemahaman secara aktif didalam suatu dinamika kelompok. Sementara itu, Jhonson (dalam Retno, 2007) menyatakan bahwa proses pelatihan dapat dilakukan dengan belajar melalui pengalaman (experiental learning), yang prosesnya digambarkan dalam bagan berikut ini:
Experiencing
(Mengalami)
Appliying Publishing
(Menerapkan) (Mengutarakan)
Processing
(Mendiskusikan)
Bagan Experiental Learning
Keempat tahap ini akan selalu berputar dan membentuk siklus pembelajaran. Mula – mula para peserta pelatihan diharuskan mengalami materi yang akan dilatihkan, kemudian setelah mereka semua mengalami melalui permainan peran, simulasi atau pemahaman kasus, maka anak didik kemudian diminta untuk mengutarakan apa yang telah dilakukan dan apa pula yang telah dilakukan dalam proses publishing. Setelah itu kemudian hasil pengalaman dan perasaan yang telah diutarakan, didiskusikan dengan seluruh anggota kelompok dan dikaitkan dengan materi yang telah diberikan pada awal pelatihan. Terakhir adalah penerapan pada dunia nyata. Demikian proses ini akan terus berlanjut sehingga membentuk suatu siklus Muniroh (dalam Retno, 2007).
Pelatihan merupakan proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu (Sikula, 1976).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah salah satu usaha untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu dan didalam proses usaha tersebut melalui beberapa tahap yaitu, mengalami, mengutarakan, mendiskusikan dan selanjutnya menerapkan di dalam kehidupan nyata.
2. Analisis Kebutuhan Pelatihan
Menentukan kebutuhan pelatihan bukan hal sederhana sebab kebutuhan pelatihan terkait dengan siapa yang dilatih, terkait dengan tujuan pelatihan, untuk kebutuhan siapa pelatihan itu dilakukan, siapa penyelenggara pelatihan, bahan pelatihan ditentukan oleh penyelenggara pelatihan, dan merupakan paket yang tidak dapat dipecah-pecah sesuai dengan keinginan pembelajar, ataukah dapat dipilih materinya oleh pembelajar sendiri (Mujiman, 2006).
Pelaksanaan pelatihan mengikuti rencana yang telah ditetapkan. Akan tetapi di dalam pelaksanaannya selalu banyak masalah yang memerlukan pemecahan. Pemecahan masalah sering berakibat adanya keharusan mengubah beberapa hal dalam rencana tetapi perubahan dan penyesuaian apa pun yang dilakukan harus selalu berorientasi pada upaya mempertahankan kualitas pelatihan, menjaga kelancaran proses pelatihan, dan tidak merugikan kepentingan partisipan (Mujiman, 2006).
Mujiman (2006) menjelaskan pelaksanaan pelatihan sebagai berikut :
a. Perkenalan
Pada awal pelaksanaan pelatihan, partisipan perlu memperkenalkan diri agar dikenal baik oleh instruktur maupun koleganya sesama partisipan. Instruktur pun perlu memperkenalkan diri. Kesempatan ini dapat digunakan untuk menyampaikan harapan instruktur tentang apa yang perlu dilakukan oleh partisipan agar proses pembelajaran berjalan lancar, dan partisipan dapat mengambil manfaat optimal dari pelatihan.
b. Acara review pengalaman
Pada awal pelatihan juga perlu diadakan secara khusus review pengalaman partisipan. Dalam acara ini partisipan menyampaikan pengalamannya dalam melaksanakan tugas di lembaga atau unit kerjanya. Perlu disampaikan apa tugasnya, masalah apa yang dihadapi, bagaimana ia mengatasi, dan sebagainya. Pada kesempatan ini instruktur mencatat pengetahuan yang telah dimiliki oleh partisipan pada umumnya, dan catatan-catatan khusus tentang partisipan yang memiliki banyak pengalaman dibidangnya. Mereka adalah partisipan potensial yang kemungkinan dapat memberikan banyak sumbangan dalam proses pembelajaran dikelas, khususnya dalam diskusi-diskusi.
c. Dirangsang untuk memanfaatkan pengalaman
Pengalaman partisipan adalah modal untuk pembelajaran selanjutnya. Maka dari itu, instruktur harus dapat merangsang agar memanfaatkan pengalaman yang telah dimilikinya. Cara sederhana adalah dengan meminta secara langsung kepada partisipan untuk mengomentari apa yang baru saja disampaikan instruktur. Kesempatan memberikan komentar harus diberikan kepada sebanyak mungkin partisipan dikelas. Komentar yang diberikan oleh partisipan selalu terkait dengan pengalaman yang telah dimilikinya. Dengan memberikan komentar, dan dengan mendengarkan komentar partisipan yang lain serta ulasan instruktur, partisipan akan dapat mengembangkan pengetahuan baru dan memperkaya pengetahuan yang dimilikinya.
Purwoko (2003) mengatakan ada dua analisis kebutuhan pelatihan yang dibutuhkan, antara lain :
a. Analisis tugas : suatu telaah yang rinci untuk mengidentifikasi keterampilan yang dituntut sehingga suatu program pelatihan yang tepat dapat direncanakan.
b. Analisis kinerja : menilai kinerja yang ada, untuk menentukan apakah ada penurunan kinerja dapat diperbaiki melalui pelatihan atau tidak.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan pelaksanaan pelatihan terdiri dari beberapa tahap. Adapun tahapan-tahapannya adalah perkenalan, acara review pengalaman, dirangsang untuk memanfaatkan pengalaman, analisis tugas dan analisis kinerja.
3. Pengertian Hipnosis
Kesan masyarakat selama ini yang memandang hipnosis dari segi buruk tampaknya perlu diluruskan. Karena sebenarnya hipnosis bukan untuk memperdaya orang, berbuat tindak kejahatan atau melakukan perbuatan yang merugikan lainnya. Sebaliknya hipnosis merupakan sebuah kemampuan yang bisa digunakan untuk memberi manfaat bagi kehidupan. Mereka yang menguasai ilmu hipnosis bisa menggunakannya untuk kebaikan diri sendiri maupun menolong orang lain.
Pada sisi lain, hipnosis murni ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kesan bahwa ilmu tersebut bagian dari ilmu gaib sebenarnya tidak seluruhnya benar. Orang yang belajar ilmu hipnosis tidak akan menemui ritual-ritual seperti mempelajari ilmu-ilmu gaib. Belajar ilmu hipnotis itu tidak perlu puasa,melafalkan mantera atau amalan-amalan lain yang memberatkan.
Para pakar hipnosis (dalam Gunawan,. 2007) memberikan definisi hipnosis sebagai berikut :
1. Hipnosis adalah suatu kondisi di mana perhatian menjadi sangat terpusat sehingga tingkat sugestibilitas meningkat sangat tinggi,
2. .Hipnosis adalah seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang sehingga mengubah tingkat kesadarannya, yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak,
3. Hipnosis adalah seni eksplorasi alam bawah sadar,
4. Hipnosis adalah kondisi kesadaran yang meningkat ,
5. Hipnosis adalah suatu kondisi pikiran yang dihasilkan oleh sugesti.
Menurut kamus Enkarta hipnosis diartikan sebagai suatu kondisi yang menyerupai tidur yang dapat secara sengaja dilakukan kepada orang, dimana mereka akan memberikan respon pada pertanyaan yang diajukan dan dapat sangat terbuka dan reseptif terhadap sugesti yang diberikan oleh hipnotis. Braid mendefiniskan hipnosis adalah terpusatnya kesadaran pada satu objek atau ide tertentu. Sigmund Freud melihat hipnosis sebagai keadaan tidur yang memiliki tingkat trans yang bervariasi mulai dari ringan sampai ekstreem. Gil Boyne mendefinisikan hipnosis sebagai keadaan pikiran normal yang dicirikan dengan relaksasi yang dalam, keinginan mengikuti sugesti yang sejalan dengan kepercayaannya, pengaturan diri dan normalisasi sistem saraf pusat, sensivitas yang meningkat dan selektif terhadap stimuli eksternal dan mekanisme pertahanan psikis yang lemah (dalam Kahija, 2007). Menurut Kahija (2007) mendefiniskan hipnosis adalah sebagai keadaan terfokusnya perhatian pada objek fisik atau gambaran mental tertentu yang ditandai dengan meningkatnya sugestibiltas sebagai efek sikap kooperatif dengan orang lain.
Berdasarkan pernyatan diatas maka dapat disimpulkan bahwa hipnosis adalah suatu praktik untuk membuat subjek atau klien masuk kedalam keadaan relaks dengan cara memfokuskan perhatian pada objek fisik atau gambar mental tertentu yang menyebabkan subjek masuk kedalam keadaan hipnotis (tidur hipnotic) sehingga subjek menjadi sugestif terhadap sugesti yang diberikan.
4. Prinsip Kerja dan Prosedur Hipnosis
Mitos hipnosis yang berkembang di masyarakat selama ini menganggap hipnosis sebagai praktik supranatural, padahal hipnosis ini bersifat ilmiah karena sudah banyak penelitian – penelitian yang dilakukan untuk membuktikan keilmiahan hipnosis. Salah satu pakar hipnosis mendefinisikan Hipnosis adalah seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang sehingga mengubah tingkat kesadarannya, yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak. Sehingga dengan berkomunikasi atau memberikan sugesti kepada klien agar masuk kedalam bawah sadarnya (Gunawan, 2007).
Freud (dalam Suryabrata, 2005).menganggap kesadaran merupakan sebagian kecil daripada seluruh kehidupan psikis. Freud mengumpamakan psyche itu sebagai gunung es ditengah lautan, yang ada di permukaan air laut merupakan kesadaran, sedangkan yang dibawah permukaan air laut merupakan bagian terbesar yang menggambarkan ketidaksadaran. Di dalam ketidaksadaran itulah terdapat kekuatan dasar yang mendorong pribadi. Untuk menjelajah ketidaksadaran itu freud menggunakan teknik hipnosis dan asosiasi bebas.
Bahasa adalah faktor kunci keberhasilan komunikasi termasuk komunikasi dalam terapi. Bahasa yang dimaksudkan disini meliputi baik bahasa verbal (ucapan) ataupun non verbal (ekspresi wajah dan tubuh). Ketrampilan menggunakan bahasa mulai berjalan ketika terapis menyambut klien, membangun rapport (kepercayaan), membawa klien dalam tidur hipnotik, membangunkannya, dan mengajaknya berbagi pengalaman. Dalam praktik hipnosis terdapat bagian yang dinamakan sugesti. Sugesti adalah pernyataan atau gerak isyarat yang diberikan terapis kepada klien dalam proses meningkatkan sugestibiltas klien. Sugesti adala faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan menghipnosis. Apabila salah memberikan sugesti maka akan membuat klien bingung ataupun takut sehingga subjek tidak berhasil di hipnosis. Dalam menghipnosis atau mensugesti juga diperlukan pengulangan kata-kata yang bertujuan untuk memperjelas sugesti dan memberikan penguatan terhadap respon yang diberikan subjek (Kahija, 2007).
Menurut teori behaviorisme pengondisian klasik dari Ivan Petrovich Pavlov (1849 – 1936) dan pengondisian operan dari Burrhus Frederick Skinner (1904 – 1990) membantu dalam proses induksi (proses mengantar klien sampai pada tidur hipnotik) dan sugesti posthipnotik (sugesti yang diberikan selama trans). Berdasarkan penelitian Ivan P Pavlov menjelaskan sugesti, otosugesti, dan daya sugesti (suggestibility) dalam hipnosis. Setiap kata yang disugestikan adalah stimulus. Dengan memberikan stimulus itu berulang kali, maka refleks terkondisikan akan muncul. Sedangkan Skinner menyatakan bahwa memberi penguatan yang baik akan menimbulkan respon positif yang nantinya akan bermanfaat dalam mengubah perilaku, mislnya contoh verbal yang biasa digunakan dalam hipnosis adalah ucapan “bagus” ketika klien mengikuti sugesti (Kahija, 2007).
Terdapat beberapa prosedur untuk melaksanakan proses hipnotis yang harus dilakukan baik melakukan hipnotis secara individual ataupun masal, yaitu :
a. Proses Pre Induksi
Proses pre induksi adalah suatu proses untuk mengawali praktik hipnosis ini. Proses ini berfungsi untuk membangun raport terhadap subjek agar mereka merasa nyaman terhadap penghipnotis dan menghilangkan ketakutan terhadap penghipnotis. Selain itu pada proses ini sangat penting membangun ekspektasi untuk menjelaskan keuntungan bagi subjek mengikuti proses ini dan agar subjek bersedia untuk dihipnotis (Gunawan, 2007). Pre induksi merupakan suatu proses mempersiapkan suatu situasi dan kondisi yang bersifat kondusif antara penghipnotis (hypnotist) dengan orang yang akan dihipnotis (subjek) (Wong, dan Andri, 2009).
Tahap atau proses pre induksi ini bertujuan untuk menjaga relasi antara terapis dan klien dengan cara berbicara atau interview, menghilangkan rasa takut klien, membangun ekspektasi, menggali dan mengumpulkan informasi). Hal diatas harus dilakukan karena apabila klien/subjek takut dan tidak yakin maka proses hipnosis tidak akan berhasil (Gunawan, 2007).
Menurut tokoh psikologi humanistik Carl Rogers (dalam Kahija, 2007), setiap orang punya dorongan untuk memandang dirinya positif (positive self regard) dan ia juga mengaharapkan hal yang sama dari orang lain, karena itu rogers menekankan betul pentingnya unconditional positiv regard (penerimaan postif tanpa syarat) dalam proses terapeutik. Klien harus diterima apa adanya, tanpa syarat (condition) dan tanpa penilaian. Dalam hipnosis proses ini proses pre induksi berfungsi untuk menunjukkan dan menciptakan penerimaan terhadap klien tanpa prasangka dan pra penilaian (Kahija, 2007)
Proses pre induksi ini mempunyai fungsi untuk membangun ekspektasi dan menghilangkan rasa takut terhadap hipnosis dengan cara memberi penjelasan manfaat dari praktik ini agar mempunyai kepercayaan yang positif (Gunawan, 2007). Dari pandangan psikologi kognitif, Aaron Beck (dalam Kahija 2007) menyatakan bahwa gangguan psikologis dikarenakan pikiran – pikiran dan perasaan negatif, selanjutnya pikiran dan perasaan negatif berkembang menjadi kepercayaan negatif yang harus di tata ulang (direkonstruksi) dan dan ditransformasikan kedalam kepercayaan yaang positif.
Menurut Wong dan Andri (2009) menyatakan bahwa dalam proses pre induksi ini biasanya diadakan uji sugestibilitas yang harus dialakukan yang bertujuan untuk mengetahui level sugestibilitas, memahami level komunikasi subjek, mengenalkan hipnosis kepada subjek, dan meningkatkan level sugestibilitas.
Dalam melakukan proses pre induksi atau uji sugestibilitas terdapat beberapa macam tekhnik, yaitu Rigid Catalepsy (kekakuan pada anggota badan), Finger Catalepsy (kekakuan pada jari), hand Locking (tangan yang terkunci), Arm Rising and falling test (tangan yang melayang dan berat), dan eye catalepsy (kekauan pada mata) (Wong dan Andri, 2009). Tingkat sugestibilitas menurut Harry Arons (dalam Wong dan Andri, 2009), terdapat enam level, yaitu sebagai berikut :
ARONS SCALE
Keterangan
1. level / stage 1. Hypnoidal adalah masa yang sangat lembut sehingga sebjek tidak merasa dihipnosis dan masih benar-benar merasa sepenuhnya sadar. Pada tahap ini, kontrol otot seperti mata terkunci (eyelid catalepsy) dapat dilakukan. Banyak tindakan terapi yang cukup dilakukan pada tahap ini, misalnya terapi penurunan berat badan terapi berhenti merokok.
2. level / stage 2. kondisi yang lebih relaks dan tidur lembut. Pada tahap ini, otot-otot yang lebih kompleks dapat dikontrol seperti membuat lengan kaku (arm catalepsy).
3. level / stage 3. pada tahap ini, seluruh sistem saraf benar-benar dapat dikontrol sehingga dapat melakukan hal-hal seperti tidak dapat beranjak dari kursi, tidak dapat berjalan, atau tidak dapat mengingat sesuatu.
4. level / stage 4. Tahap amnesia seperi melupakan nama, alamat dan sebagainya dimulai pada tahap ini. Pada tahap ini biasanya seseorang tidak mampu merasakan sakit. Operasi gigi pada tahap ringan seperti pencabutan gigi dapat dilakukan pada tahap ini.
5. level / stage 5. Somnambulisme awal. Anestesia menyeluruh terjadi pada tahap ini yang mengakibatkan subjek tidak mampu merasakan sakit ataupun sentuhan. Halusinansi positif baik indra penglihatan maupun pendengaran, terjadi pada tahap ini sehingga subjek dapat disugesti melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
6. level / stege 6 halusinasi negatif, baik indra penglihatan maupun pendengaran, terjadi di level ini sehingga subjek dapat menghilangkan gambaran atau suara yang seharusnya ada
b. Proses Induksi
Induksi adalah proses yang di tempuh terapis dalam membawa klien menuju tidur hypnotic, ibarat kapal yang membawa penumpang dari ”pulau kesadaran” menuju ”pulau bawah sadar. Terapis berperan sebagai pemandu jalan menuju trans. Perjalanan itu di mulai dengan memusatkan perhatian klien pada objek tertentu, dengan tujuan mengasingkan klien dari banyak stimulus di sekitarnya. Dengan pikiran yang terarah dan terfokus subjek pelan – pelan bergerak dari luar kedalam, secara fisiologis, dari gelombang beta ke delta, baru sesudah itu tubuh menjadi sangat relaks. Salah satu teknik dalam proses induksi yaitu relaksasi progresif. Pada relaksasi progresif , hipnotis berkonsentrasi bagaimana membuat klien menjadi rileks, alur relaksasi biasanya dimulai dari kepala sampai kaki (Kahija, , 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Retno Dwi Suryaningsih (2006), menyimpulkan bahwa dengan memberikan pelatihan relaksasi dapat, menurunkan kecemasan menghadapi ujian semester.
c. Deepening
Deepening adalah suatu teknik yang bertujuan membawa klien memasuki kondisi hypnosis lebih dalam lagi dengan memberikan suatu sentuhan imajinasi (Wong & Andri, 2009). Beberapa teknik untuk memperdalam keadaan hipnosis adalah menghitung turun, menuruni tangga, the elevator, the hallway, head down, fractination, menjatuhkan tangan ke pangkuan, menggunakan anchor atau conditioning. Salah satu cara melakukan deepening adalah dengan teknik menuruni tangga, berikut ini adalah cara melakukan teknik tersebut :
”Saya akan menghitung 1 sampai 3, dan pada hitungan ketiga anda berada di lantai du sebuah rumah …. Den anda berada berada di bibir tangga lantai dua… menuju lantai satu… tangga tersebut memilki 10 anak tangga… Saya akan mulai menghitung… satu… dua …. Tiga …., sekarang, perhatikan… apakah anda sudah melihat tangga tersbut? (hipnotis harus memastikan subjek telah melihat tangga yang di maksud). Sekarang… bersiap – siaplah untuk turun menuju lantai satu… anda akan turun perlahan – lahan …. Setiap kali anda menuruni satu anak tangga..,. anda semakin rileks, semakin nyaman, dan semakin mengantuk …. “saya akan menghitung turun dari angka 10 ke angka satu setiap hitungan turun anda merasa lebih nyaman, lebih relaks,dan tidur lebih dalam lagi. Sepuluh…… semakin relaks, semakin nyaman….sembilan….. lebih relaks, lebih nyaman…. Delapan…. Tidur lebih dalam lagi…. Bagus sekali….. tujuh … semakin relaks….. enam …. Semakin nyaman …. Lima …. Semakin tidur lebih dalam lagi….. empat…. Tiga….. semakin lebih nyaman…. Lebih relaks… dua….. dan satu tidur lebih dalam lagi….” (Gunawan, , 2007).
d. Depth Level Test
Depth Level test adalah cara untuk memastikan kedalaman hasil kegiatan deepening yang sudah dilakukan. Tes ini dilakukan dengan menanyakan apakah saran atau perintah yang dilakukan benar-benar telah dapat dilaksanakan dan dirasakan oleh subjek, misalnya dengan memberikan pertanyaan tertutup yang membutuhkan jawaban ”ya atau tidak” yang dijawab subjek dengan menggerakkan anggota tubuh tertentu, biasanya salah satu jari tangan. Contoh skrip untuk mengetahui kedalaman hasil dari deepening sebagai berikut :
”kini, saya akan bertanya kepada anda yang dapat anda jawab dengan menggerakkan jari telunjuk kanan untuk jawaban ”ya” atau menggerakkan jari telunjuk kiri untuk jawaban ”tidak”. Apakah saat ini Anda benar-benar dapat merasakan berada di tempat yang Anda senangi tersebut”.
Jika subjek telah merasakan benar-benar berada dalam kondisi kedalaman yang dikehendaki, lakukan langkah selanjutnya yaitu pemberian sugesti yang menjadi tujuan hipnosis. Jika subjek belum berada dalam kondisi kedalaman yang dikehendaki, berikan deepening kembali dengan menggunakan teknik yang berbeda. Untuk dapat mengetahui tingkat kedalaman bisa menggunakan depth level scale (Wong,& Andri,2009).
e. Sugesti
Sugesti adalah pernyataan atau gerak isyarat yang diberikan terapis kepada klien dalam proses meningkatkan sugestibilitas klien (Kahija, 2007). Dalam melakukan sugesti terdapat beberapa aturan yaitu bahasa sederhana, mudah di mengerti & spesifik, Positif, sugestikan apa yang diinginkan, menggunakan emosi, menggunakan kalimat sekarang. Hindari kalimat yang menggunakan kata larangan (jangan,tidak, dilarang) dan hindari kata akan, harus menggunakan kita pasti. Ex. Setiap anda menghembuskan nafas anda semakin rileks (Gunawan, 2007). Wong dan Andri (2009) menyatakan prinsip-prinsip pembentukan kalimat dalam sugesti adalah menggunakan kata-kata positif, hindari penggunaan kata ”tidak”, ”jangan”, dan sebagainya, kecuali tidak ada lagi padanan kata yang tepat., berikan pengulangan kalimat seperlunya saja, gunakan kalimat yang menunjukkan waktu sekarang (present tense) dan hindari kata ”akan”, tambahkan sentuhan emosional dan imajinasi, bentuk kalimat sugesti secara progresif (bertahap-jika diperlukan), berikan kalimat bernuansa pribadi sehingga pikiran bawah sadar subjek dapat menerima sugesti itu seutuhnya, dan gunakan kata-kata yang sesuai dengan pemahaman subjek.
Sugesti adalah Suatu rangkaian kata-kata, atau kalimat, yang disampaikan dengan cara tertentu, dan dalam situasi tertentu, sehingga dapat memberikan pengaruh bagi mereka yang mendengarnya, sesuai dengan maksud & tujuan sugesti tersebut (Nurindra, 2008). Sugesti berfungsi untuk memperbaiki pikiran subyek tentang konsep diri, citra diri dan harga diri sehingga subyek mempunyai kepercayaan diri yang baik (Gunawan & Ariesandi, 2007)
f. Awakening
Awakening adalah Proses membangunkan klien. Aturan proses Awakening adalah Proses membangunkan klien. Aturan proses awakening :
1. jangan pernah membangunkan klien secara tiba – tiba atau sangat cepat, kecuali terpaksa / darurat. Karena klien akan merasa pusing.
2. sugestikan, klien ketika bangun dalam tidurnya, akan berada dalam kondisi segar, nyaman dan tenang sepenuhnya. (Gunawan , 2007).
Beberapa ahli misalnya wong membagi tahap awakening menjadi dua yaitu termination dan post hypnotic. Terminatian adalah tahap pengakhiran untuk mengembalikan subjek pada keadaan semula (sadar). Post hypnotic adalah kondisi subjek setelah termination (Wong dan Andri, 2009)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam menghipnotis terdapat prosedur yang harus dilaksanakan yaitu pre- induksi, induksi, deepening, sugesti dan awakening.
3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Dalam Proses Hipnosis
Pada saat melakukan proses hipnosis terdapat hal – hal yang harus diperhatikan karena dapat mengganggu proses hipnotis dan mengganggu konsentrasi penghipnotis dan subjek yang dihipnosis. Apabila subjek merasa tidak nyaman maka akan mengganggu proses hipnotis, karena pada dasarnya hipnosis adalah membuat subjek rileks agar mudah masuk ke pikiran bawah sadar (Wong, dan Andri, 2009).
Bernstein dan Borkovic (1973), Goldfried (1976), Walker, dkk (1981) (dalam Prawitasari, dkk. 2003) menyatakan, sebelum kegiatan hipnosis dilakukan, perlu diperhatikan mengenai lingkungan fisik (physical setting, sehingga individu dapat berlatih dengan tenang. Lingkungan fisik tersebut antara lain :
1. Kondisi Ruangan
Ruangan yang digunakan untuk latihan relaksasi harus tenang, segar, dan nyaman. Untuk mengurangi cahaya dan suara dari luar, jendela dan pintu sebaiknya ditutup. Penerang ruangan sebaiknya remang – remang saja dan dihindari adanya sinar langsung yang mengenai mata individu, sehingga memudahkan mereka untuk berkonsentrasi.
2. Kursi
Pada saat latihan hipnosis perlu digunakan kursi yang dapat memudahkan individu untuk menggerak – gerakkan otot dengan konsentrasi penuh. Kursi yang di gunakan contohnya kursi malas, sofa atau kursi yang ada sandarannya akan mempermudah individu untuk lebih relaks. Latihan Relaksasi juga dapat dilakukan dengan berbaring di tempat tidur.
3. Pakaian
Pada waktu latihan sebaiknya digunakan pakaian yang longgar, dan hal – hal yang mengganggu jalannya proses hipnosis (kaca mata, jam tangan, gelang, sepatu, ikat pinggang) dilepas dahulu.
Menurut Dr. Stephanus C Nurdin, CCHT, CI ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan proses hipnosis yaitu:
a. Kondisi kejiwaan (psikologis)
b. Tingkat keaktifan berpikir
c. Suasana dan Kondisi lingkungan
d. Kepercayaan subyek kepada penghipnotis
e. Tingkat kepekaan panca indra
Menurut Yan Nurindra, CHT, CH, CI (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan proses hipnosis yaitu bersedia atau tidak menolak untuk dihipnosis, mampu berkomunikasi, memiliki panca indra yang masih berfungsi dan memahami komunikasi, mempunyai kemampuan untuk berkonsentrasi.
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi hipnosis dapat di bagi menjadi 2 faktor yaitu faktor internal subyek dan faktor eksternal subyek. Faktor internal adalah faktor yang timbul dari diri individu, yang meliputi kondisi kejiwaan subyek, kondisi fisik subyek, tingkat kepekaan panca indra, konsentrasi, dan kepercayaan subyek serta motivasi. / kemauan Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu, yang meliputi suasana dan kondisi lingkungan dan ketrampilan dari penghipnotis.
5. Pelatihan Kepercayaan Diri Menggunakan Metode Hipnosis
Pelatihan adalah salah satu bentuk usaha untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu (True Love, 1992).
Rasa percaya diri adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri sehingga rasa percaya diri juga disebut sebagai harga diri atau gambaran diri. (Santrock, 2003). Menurut Hakim (2002) kepercayaan diri secara sederhana bisa dikatakan sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya. Ellias (2002) menyatakan kepercayaan diri mendorong seseorang untuk mencoba bidang-bidang identitas baru, mengambil resiko positif, memajukan diri sendiri, dan mengembangkan kecakapan.
Hattie (dalam Thalib, 2002) menjelaskan bahwa rasa percaya diri dapat membuat seseorang mempunyai pandangan diri positif serta kontrol diri yang baik. Dampak dari seseorang yang mempunyai kepercayaan diri, seperti yang dikatakan Lauster (1978) dan Waterman (1988) adalah bahwa seseorang yang mempunyai kepercayaan diri akan cenderung bersifat optimis.
Rendahnya rasa percaya diri dapat menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara. Tetapi dapat menimbulkan banyak masalah. Rendahnya rasa percaya diri bisa menyebabkan depresi, bunuh diri, anoreksia nervosa, delinkuensi, dan masalah penyesuaian diri lainnya. Ketika tingkat percaya diri yang rendah berhubungan dengan proses belajar seperti prestasi rendah, atau kehidupan keluarga yang sulit, atau dengan kejadian-kejadian yang membuat tertekan, masalah yang muncul dapat menjadi lebih meningkat (Santrock, 2003).
Menurut kamus Enkarta hipnosis diartikan sebagai suatu kondisi yang menyerupai tidur yang dapat secara sengaja dilakukan kepada orang, dimana mereka akan memberikan respon pada pertanyaan yang diajukan dan dapat sangat terbuka dan reseptif terhadap sugesti yang diberikan oleh hipnotis. Braid mendefiniskan hipnosis adalah terpusatnya kesadaran pada satu objek atau ide tertentu. Sigmund Freud melihat hipnosis sebagai keadaan tidur yang memiliki tingkat trans yang bervariasi mulai dari ringan sampai ekstreem. Gil Boyne mendefinisikan hipnosis sebagai keadaan pikiran normal yang dicirikan dengan relaksasi yang dalam, keinginan mengikuti sugesti yang sejalan dengan kepercayaannya, pengaturan diri dan normalisasi sistem saraf pusat, sensivitas yang meningkat dan selektif terhadap stimuli eksternal dan mekanisme pertahanan psikis yang lemah (dalam Kahija, 2007). Menurut Kahija (2007) mendefiniskan hipnosis adalah sebagai keadaan terfokusnya perhatian pada objek fisik atau gambaran mental tertentu yang ditandai dengan meningkatnya sugestibiltas sebagai efek sikap kooperatif dengan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pelatihan kepercayaan diri menggunakan metode hipnosis adalah salah satu bentuk usaha untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu, kali ini berkenaan dengan kepercayaan diri yang menggunakan metode hipnosis yang bertujuan unuk meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa dalam menghadapi ujian skripsi.
C. Pengaruh Pelatihan Keperrcayaan Diri Menggunakan Metode Hipnosis Terhadap Kepercayaan Diri Menghadapi Ujian Skripsi
Kepercayaan diri, seperti yang telah diuraikan sebelumnya adalah keadaan yang menunjukkan keyakinan akan kemampuan, optimisme, senantiasa berpikir positif, dapat menerima diri apa adanya dan tidak banyak mencari dukungan orang lain. Seseorang yang mempunyai sifat-sifat seperti diatas akan senantiasa memandang diri dan lingkungan dengan positif dan objektif, sehingga tidak lagi kecewa, tidak puas atau ingin menjadi orang lain yang tidak berada pada situasi seperti dirinya.
Kekecewaan dan ketidakpuasan yang disertai kurangnya pengetahuan untuk mengubah situasi, membuat individu yang bersangkutan menjadi putus asa dan mengalami kecemasan serta cenderung melarikan diri atau menjauhkan diri (Lia, 2004). Horney (dalam Burn, 1979) menjelaskan bahwa harga diri dan kepercayaan diri yang rendah seringkali menimbulkan kesalahan atau kegagalan dalam menghadapi dan mengatasi situasi atau masalah, sehingga berkembang menjadi tekanan-tekanan yang menghasilkan kecemasan dalam diri seseorang.
Menurut Hakim (2002) orang orang yang memiliki kualitas jati diri yang lebih tinggi daripada orang lain, seperti prestasi akademis yang tinggi, sukses dalam karier dan bisnis, kesejahteraan yang memadai, popularitas, juara dalam berbagai macam kompetisi olah raga, musik, dan lain lain, tidak akan bisa mencapai keberhasilan tanpa ditunjang dengan rasa percaya diri yang tinggi. Oleh karena itu, rasa percaya diri pada setiap orang merupakan salah satu kekuatan jiwa yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya orang tersebut dalam mencapai berbagai tujuan hidup. Kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berprilaku memperoleh hasil yang diharapkan dan mampu menangani segala sesuatu dengan tenang.
Ellias (2002) menyatakan kepercayaan diri mendorong seseorang untuk mencoba bidang bidang identitas baru, mengambil resiko positif, memajukan diri sendiri, dan mengembangkan kecakapan. Berdasarkan penelitian ilmiah, percaya diri adalah meyakini (al-i’tiqad ) adanya rasa percaya dalam dirinya lalu bertindak sesuai dengan kapasitasnya serta mampu mengendalikannya. Jika mengacu pada literatur lama percaya diri dapat didefinisikan dengan mempercayai (al-iman) diri sendiri secara total.
Freud (dalam Setiarso, 1999) bahwa kecemasan disebabkan karena kehilangan kepercayaan diri. Menurut George Shinn (2003) percaya diri merupakan dasar dari motivasi diri untuk berhasil. Agar termotivasi seseorang harus percaya diri. Seseorang yang mendapatkan ketenangan dan kepercayaan diri haruslah menginginkan dan termotivasi dirinya. Menurut Centi (1995) kepercayaan diri dipengaruhi oleh konsep diri. Semakin tinggi konsep dirinya maka kepercayaan dirinya tinggi, sedangkan bila konsep diri seseorang rendah maka kepercayaan dirinya rendah juga
Mencermati terjadinya permasalahan dalam menghadapi ujian semester pada siswa kelas X SMA N I Karanganyar yang disebabkan karena perasaan takut atau kurang yakin terhadap kemampuannya untuk mengerjakan soal dan menguasai bahan untuk ujian semseter, ujian yang pertama kali menggunakan kurikulum SBI (Sekolah Bertaraf internasional), serta naiknya standar nilai minimal ujian oleh karena itu perlu diadakannya upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menggunakan hipnosis.
Hipnosis adalah keadaan terfokusnya perhatian pada objek fisik atau gambar mental tertentu yang menyebabkan subjek masuk kedalam keadaan hipnotis (tidur hipnotis) sehingga subjek menjadi sugestif terhadap sugesti yang diberikan (Kahija, 2007). Dengan menggunakan praktik hipnosis, kita bisa mengubah pikiran bawah sadar dengan memberikan sugesti yang positif untuk mengaktifkan dan meningkatkan potensi yang dimiliki manusia, karena pada dasarnya pikiran bawah sadar mempunyai potensi yang belum kelihatan dan ketika di hipnosis maka pikiran bawah sadar akan dimunculkan. Orang yang dihipnotis ketika memasuki gelombang alfa atupun theta akan menjadi sangat reseptif terhadap sugesti yang diberikan dan sugesti tersebut menetap menjadi kebiasaan (Gunawan,2007).
Hipnosis adalah salah satu cara yang cepat untuk mempengaruhi pikiran bawah sadar manusia. Apapun yang tersugestikan oleh penghipnotis kepada subjek maka sugesti itu akan dilakukan oleh subjek. Seperti eksperimen yang telah dilakukan oleh Dr. Liebault dan Prof. Beunis yang telah menghilangkan kecemasan seorang wanita ketika mendengar nama Frank dengan menghipnotis wanita tersebut (Wardhana, 2008).
Pada saat proses hipnosis terdapat proses dimana subek diberikan sugesti tertentu sesua dengan tujuan yang ingin dicapai. Sugesti adalah Suatu rangkaian kata-kata, atau kalimat, yang disampaikan dengan cara tertentu, dan dalam situasi tertentu, sehingga dapat memberikan pengaruh bagi mereka yang mendengarnya, sesuai dengan maksud & tujuan sugesti tersebut (Nurindra, 2008). Sugesti berfungsi untuk memperbaiki pikiran subyek tentang konsep diri, citra diri dan harga diri sehingga subyek mempunyai kepercayaan diri yang baik (Gunawan & Ariesandi, 2007)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang sudah dihipnosis dengan pemberian sugesti untuk meningkatkan kepercayaan diri maka kepercayaan dirinya juga tentu akan meningkat pula.
D. Hipotesis
Penelitian ini ingin menguji hipotesis yaitu ”Ada pengaruh pelatihan kepercayaan diri menggnakan metode hipnosis terhadap kepercayaan diri siswa menghadapi ujian semester”. Adapun kaidah menerima hipotesis apabila:
1. Tidak ada perbedaan nilai rata-rata pre test antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen
2. Tidak ada perbedaan nilai rata-rata antara skor pre test dan post test pada kelompok kontrol atau nilai rata-rata post test lebih rendah daripada skor pre test.
3. Ada perbedaan nilai rata-rata pre test dan post test pada kelompok eksperimen, dimana nilai rata-rata post test lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata pre test
4. Ada perbedaan nilai rata-rata antara skor post test kelompok eksperimen dengan skor post test pada kelompok kontrol, diamana nilai rata-rata post test kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata post test pada kelompok kontrol.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment