Friday, February 23, 2007

Mengatasi Insomnia dengan Relaksasi Dzikir

Pendahuluan
Kesulitan tidur atau insomnia adalah keluhan tentang kurangnya kualitas tidur yang disebabkan oleh satu dari; sulit memasuki tidur, sering terbangun malam kemudian kesulitan untuk kembali tidur, bangun terlalu pagi, dan tidur yang tidak nyenyak. Insomnia tidak disebabkan oleh sedikitnya seseorang tidur, karena setiap orang memiliki jumlah jam tidur sendiri-sendiri. Tapi yang menjadi penekanan adalah akibat yang ditimbulkan oleh kurangnya tidur pada malam hari seperti kelelahan, kurang gairah, dan kesulitan berkonsentrasi ketika beraktivitas.
Menurut National Institute of Health (1995) Insomnia atau gangguan sulit tidur dibagi menjadi tiga yaitu insomnia sementara (intermittent) terjadi bila gejala muncul dalam beberapa malam saja. Insomnia jangka pendek (transient) bila gejala muncul secara mendadak tidak sampai berhari-hari, kemudian insmonia kronis (Chronic) gejala susah tidur yang parah dan biasanya disebabkan oleh adanya gangguan kejiwaan. Penyebab insomnia intermitten dan transient antara lain stress, kebisingan, udara yang terlalu dingin atau terlalu panas, tidur tidak di tempat biasanya, berubahnya jadwal tidur dan efek samping dari obat-obatan. Sedangkan insomnia yang kronik disebabkan oleh beberapa faktor terutama secara fisik dan mental disorder.
Secara lebih rinci Soresso (tanpa tahun) membagi penyebab munculnya gangguan tidur menjadi 6 yaitu :
1. Farmakologis, pemakaian obat-obatan
2. Medis, misalnya sakit kepala, kesulitan bernafas
3. Genetik, memiliki darah keturunan dari penderita insomnia yang parah
4. Konsumsi tembakau atau alkohol
5. Psikiatris, misalnya gangguan emosi, kecemasan, schizoprenia, somatoform
6. Gangguan psikologis, setelah mengalami pengalaman traumatis, ditinggal orang yang dicintai dan frustrasi kesulitan mencoba untuk tidur.
Penyembuhan terhadap insomnia tergantung dari penyebab yang menimbulkan insomnia. Bila penyebabnya adalah kebiasaan yang salah atau lingkungan yang kurang kondusif untuk tidur maka terapi yang dilakukan adalah merubah kebiasaan dan lingkungannya. Sedangkan untuk penyebab psikologis maka konseling dan terapi relaksasi dapat digunakan untuk mengurangi gangguan sulit tidur, terapi ini merupakan bentuk terapi psikologis yang mendasarkan pada teori-teori behavioris.
Dasar pikiran relaksasi adalah sebagai berikut. Relakasasi merupakan pengaktifan dari saraf parasimpatetis yang menstimulasi turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh sistem saraf simpatetis, dan menstimulasi naiknya semua fungsi yang diturunkan oleh saraf simpatetis. Masing-masing saraf parasimpatetis dan simpatetis saling berpegaruh maka dengan bertambahnya salah satu aktivitas sistem yang satu akan menghambat atau menekan fungsi yang lain (Utami, 1993). Ketika seseorang mengalami gangguan tidur maka ada ketegangan pada otak dan otot sehingga dengan mengaktifkan saraf parasimpatetis dengan teknik relaksasi maka secara otomatis ketegangan berkurang sehingga seseorang akan mudah untuk masuk ke kondisi tidur.
Berbagai macam bentuk relaksasi yang sudah ada adalah relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera, relaksasi meditasi, yoga dan relaksasi hipnosa (utami, 1993). Dari bentuk relaksasi di atas belum pernah dimunculkan kajian tentang bentuk relaksasi dengan dzikir. Bila dalam meditasi penelitian tentang meditasi transendental sudah banyak dilakukan misalnya penelitian mengenai transcendental meditation yang dikembangkan oleh maharishi mahes yogi.
Relaksasi dzikir ini merupakan bentuk sikap pasif atau pasrah dengan menggunakan kata yang diulang-ulang sehingga menimbulkan respon relaksasi yaitu tenang. Respon relaksasi yang digabungkan keyakinan ini sudah dikembangkan oleh Benson (2000), dimana dengan mengulang kata yang dipilih dapat membangkitkan kondisi relaks. Menurutnya metode penggabungan ini lebih efektif bila dibandingkan dengan relaksasi yang tidak melibatkan faktor keyakinan (tentunya hal juga didukung oleh penelitian).
Kata atau dzikir yang akan digunakan sebaiknya berupa kata yang memiliki makna yang dalam bagi subjek. Dalam literatur Islam banyak sekali kata yang dapat digunakan untuk dzikir misalnya Yaa Allah, ahad.. ahad.., alhamdulillah, atau menggunakan asmaul husna. Arti dizkir sendiri adalah ingat, jadi perbuatan dzikir lebih pada makna dari pada verbalisasinya. Sehingga diharapkan dalam relaksasi dzikir ini dapat membawa subjek pada alam trasendental.
Setelah sikap transenden sudah terbentuk langkah selanjutnya adalah membangkitkan sikap pasif yang merupakan sikap dalam relaksasi yaitu dengan menimbulkan sikap pasrah. Pasrah dapat dideskripsikan sebagai sebuah sikap penyerahan total kepada objek trasenden yaitu Allah SWT. Dengan sikap ini apapun yang terjadi dalam diri diterima tanpa reserve, sehingga sangat efektif untuk menimbukan sikap pasif.
Munculkannya gangguan insomnia yang banyak disebabkan oleh konflik internal yang akhirnya menimbulkan stress dapat diredakan dengan sikap penerimaan diri, tidak menentang, dan pasif total. Pada kondisi ini saraf simpatetik yang membuat tegang dapat diturunkan fungsi-fungsinya dan menaikkan saraf parasimpatetik.

Tahap-tahap relaksasi dzikir
1. Ambil posisi tidur telentang yang paling nyaman,
2. Pejamkan mata dengan pelan tidak perlu dipaksakan sehingga tidak ada ketegangan otot sekitar mata
3. Lemaskan semua otot. Mulailah dengan kaki, kemudian betis, paha dan perut. Gerakkan bahu beberapa kali sehingga tercapai kondisi yang lebih relaks
4. Perhatikan pernapasan. Bernapaslah dengan lambat dan wajar, dan ucapkan dalam hati frase atau kata yang digunakan sebagai contoh anda menggunakan frase yaa Allah. Pada saat mengambil nafas sertai dengan mengucapkan kata yaa dalam hati, setelah selesai keluarkan nafas dengan mengucapkan Allah dalam hati. Sambil terus melakukan no 4, lemaskan seluruh tubuh disertai dengan sikap pasrah kepada Allah. Sikap ini mengambarkan sikap pasif yang diperlukan dalam relaksasi, dari sikap pasif akan muncul efek relaksasi ketenangan.

Tafakur Sebagai Sarana Transendensi

Sepanjang zaman, manusia bertanya “siapakah Aku?” tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik ke dalam, “wujud spiritual, ruh”. Praktik-praktik keagamaan mengajarkan kita untuk menyambungkan diri kita dengan bagian terdalam ini. Psikologi modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perenial agama dan mengajarkan praktik-praktik untuk mengantarkan manusia pada kesadaran spiritual, di atas id, ego, dan superego.
Islam sebagai agama yang besar memberikan banyak metode untuk mencapai kualitas manusia yang tinggi. Islam tidak hanya memperhatikan aspek luarnya saja (eksoterik) seperti rukun sholat, zakat, haji namun juga sisi isoteriknya seperti pembinaan hati, ketakwaan, kesabaran, keikhlasan, dan kepasrahan. Dengan pembinaan sisi isoterik ini Islam mampu mengantarkan seseorang memiliki keuletan, keberanian, dan ketenangan yang luar biasa dalam menghadapi permasalahan hidup (Hamdani, 1989)
Bertafakur merupakan salah satu cara untuk lebih mendalami ajaran-ajaran isoterik Islam. Dimana dalam bertafakur ini seseorang diajak memahami sesuatu kejadian tidak hanya sebatas empiris tapi lebih dari itu, pemahaman secara transendental (An-Najar, 2001).
Dalam psikologi, tafakur sering dikaitkan dengan aktifitas kognitif yaitu berpikir namun dalam bertafakur tidak hanya sebatas berpikir saja melainkan juga aktivitas afektif. Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur.

Tafakur
Bertafakur tentang ciptaan Allah SWT merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah SWT di langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggerakan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali Imron ayat 190-191, Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Mentafakuri penciptaan langit dan bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak dibatasi oleh faktor waktu dan ruang. Tafakur merupkan ibadah yang bebas. Seorang mukmin bebas dan merdeka untuk melihat dan berimajinasi, tafakur merupakan pengembaraan pikiran intuitif yang dapat menghidupkan dan menyinari mata hati ketika pikiran menerobos dinding-dinding tanda kekuasaan Allah (Badri, 1989).
Sebagaimana kegiatan berpikir adalah kunci kebaikan dan amal saleh, ia juga merupakan pangkal segala perbuatan maksiat lahir dan batin. Oleh karena itu hati yang selalu merenung atau bertafakur tentang ketinggian dan keagungan Allah serta selalu memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar dengan mudah niat-niat jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena ia memiliki kepekaan dan ketajaman sebagai hasil zikir dan tafakurnya .
Dalam proses tafakur seorang mukmin akan memanfaatkan pengalaman-pengalaman lamanya dan menghubungkannya dengan persepsinya terhadap segala ciptaan yang sedang ia renungkan, melalui rumusan bahasa yang ia digunakan. Dia menghubungkan persepsi yang didapatinya dari tafakurnya itu dengan gambaran lamanya, sekaligus sebagai bahan untuk mendapatkan kemungkinan positif untuk hidup di kemudian hari. Semua ini berproses dengan penuh cinta, rasa takut, dan tanggungjawab kepada Allah SWT. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali (dalam Badri 1989) menegaskan bahwa tafakur adalah menghadirkan dua macam pengetahuan di dalam hati untuk merangsang timbulnya pengetahuan yang ketiga. Dalam hal ini dapat penulis contohkan, ada seseorang yang begitu mementingkan kehidupan dunia, tetapi ia ingin membuktikan bahwa kehidupan akhirat lebih utama dan harus didahulukan. Pertama, ia harus mengetahui bahwa yang lebih kekal adalah yang lebih penting. Kedua, bahwa akhirat itu lebih kekal. Dari kedua pengetahuan ini akan didapatkan pengetahuan ketiga, yaitu akhirat lebih penting. Jadi, pengetahuan baru akan muncul bila ada pengembangan dua premis pengetahuan sebelumnmya.
Seseorang yang memiliki pengetahuan yang keliru atau kurang memadai tingkat keilmuannya dapat mengakibatkan seseorang menjadi sesat atau tidak mendapatkan apa-apa dalam bertafakur. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat Allah akan kesulitan dalam menafsirkan beberapa kejadian alam semesta, bisa jadi musibah yang dia terima merupakan kemarahan Allah atas dirinya, padahal musibah itu bisa jadi pelajaran bagi dirinya. Tafakur dasarnya adalah ilmu sehingga Islam menganjurkan untuk terus menerus mencari ilmu sebagai bahan tafakurnya.

a. Fase-fase dalam bertafakur
Menurut Badri (1989) perwujudan tafakur melalui 4 fase yang saling berkait yaitu :
1. Pengetahuan awal yang didapat dari persepsi empiris langsung yaitu melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indera lainnya
2. Tadlawuk artinya pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah dari apa yang dilihat atau didengar.
3. Penghubung antara perasaan kekaguman akan keindahan dengan pencipta yang Mahaagung
4. Syuhud artinya seseorang yang bertafakur, hatinya terbuka untuk menyaksikan keagungan Allah dan dia bersaksi bahwa Dialah yang memberi segala kebaikan. Pada fase ini setiapkali pandangan tertuju pada makhluk Allah, yang dilihatnya adalah pencipta-Nya dan segala sifat keagungan-Nya.
Dari tahapan tafakur diatas secara jelas dapat penulis terangkan sebagai berikut : jika seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang inderawi menuju rasa kekaguman (tadlawuk) di mana pada fase ini adalah fase bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ia berpindah menuju sang pencipta dengan penuh kekhusyukan sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Untuk menuju fase selanjutnya seseorang harus membiasakan dalam bertafakur sehingga seseorang tersebut melihat semua yang ada di sekitarnya menjadi motivasi berfikir dan bertafakur yang pada akhirnya akan melahirkan sikap perasaan keagungan akan Tuhan.

b. Perbedaan Individu dalam Bertafakur
Kualitas tafakur seseorang dengan orang lain pada suatu saat akan berbeda hal tersebut menurut Badri (1989) disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Kedalaman iman.
Kedalaman pikiran dan renungan pertama kali bergantung pada derajat iman seseorang dan hubungan dia dengan Allah. Ini merupakan hal pribadi yang hanya diketahui oleh Allah dan orang itu. Tafakur yang dilakukan dalam kondisi emosional-spiritual yang tinggi, semakin mudah baginya untuk mencapai i’tibar (mengambil pelajaran). Pada kondisi ini seseorang berada antara zikir dan fikir, keadaan emosional semacam ini dapat terus memuncak pada tingkatan yang lebih tinggi.
2. Kemampuan memusatkan pikiran
Tafakur membutuhkan daya konsentrasi terhadap objek tafakurnya. Seseorang yang memiliki daya konsentrasi yang kuat dan tahan lama akan mendapatkan pencerahan lebih banyak dan lebih mendalam.
3. Kondisi emosional dan rasional
Tafakur memerlukan ketenangan, ketentraman jiwa, serta kesehatan fisik serta psikologis. Seseorang yang sedang mengalami gelisah, sedih, ketakutan, atau mengalami gangguan-gangguan saraf lainnya tidak dapat berpikir dan bertafakur dengan tajam dan penuh konsentrasi
4. Faktor lingkungan
Lingkungan yang tidak bersih, terlalu ramai, sesak tidak kondusif untuk seseorang yang sedang melakukan tafakur dan berkonsentrasi. Kesibukan dalam keseharian juga sangat mempengaruhi terhadap kemampuan bertafakur.
5. Bimbingan
Seseorang yang berniat untuk meningkatkan kualitas kejiwaannya harus dibimbing oleh seorang yang sudah berkualitas kejiwaannya juga. Menurut Imam Al-Jauziah cahaya atau nur akan melimpah dari seorang yang jiwanya berkualitas, baik dengan berguru kepadanya atau sekedar bergaul dengannya. Bimbingan ini sangat penting, sebab tafakur membutuhkan premis-premis yang benar, bila premisnya saja sudah salah maka hasil sintesanya pun akan salah juga dan bila ini berlanjut terus maka orang tersebut akan tersesat.
6. Objek tafakur
Dalam memilih objek tafakur sebaiknya memilih objek yang mampu diolah oleh kemampuan kognitifnya, semakin abstrak objeknya maka semakin sulit pula untuk mendapatkan manfaat dari tafakur tersebut.

Psikologi Transpersonal
Sejak 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian yang dilakukan untuk memahami gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal pengalaman spiritual dan kecerdasan spiritual (Zohar, 2000).
Menurut Maslow pengalaman keagamaan meliputi peak experience, plateu, dan farthest reaches of human nature. Oleh karena itu psikologi belum sempurna sebelum memfokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Maslow menulis (dalam Zohar, 2000) , “I should say also that I consider Humanistic, Third Force Psychology, to be trantitional, a preparation for still higher Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman, centered in the cosmos rather than in human needs and interest, going beyond humanness, identity, self actualization, and the like”.
Psikologi transpersonal lebih menitikberatkan pada aspek-aspek spiritual atau transendental diri manusia. Hal inilah yang membedakan konsep manusia antara psikologi humanistik dengan psikologi transpersonal. McWaters (dalam Nusjirwan, 2001) membuat sebuah diagram yang berbentuk lingkaran dimana setiap lingkaran mewakili satu tingkat berfungsinya manusia dan tingkat kesadaran diri manusia.

Keterangan:

PERSONAL
1
Fisikal : berfungsinya panca indera
2
Emosional : kasih sayang, kemarahan, kesedihan dst
3
Intelek : berpikir
4
Pengintegrasian pribadi kapasitas pencapaian kesempurnaan di dunia

TRANSPERSONAL
5
Intuisi : empati, ESP,
6
Fenomena parapsikologi
7
Penghayatan kesatuan universal
8
Penunggalan (?), penghayatan simultasn semua dimensi

Tiap tingkat dari bagan diatas menunjukkan tingkat fungsi dan tingkat kesadaran manusia. Lingkaran 1,2 dan 3 berturut-turut mewakili aspek fisikal, aspek emosional dan aspek intelektual dari kekuatan batin individu. Lingkaran 4 menggambarkakn pengintegrasian dari lingkaran 1, 2, dan 3 yang memungkinkan individu berfungsi secara harmonis pada tingkat pribadi. Keempat lingkaran ini termasuk dalam kawasan personal manusia.
Tingkatan berikutnya termasuk dalam kategori wilayah transpersonal manusia. Lingkaran 5 mewakili aspek intuisi. Pada aspek ini seseorang mulai samar-samar menyadari bahwa ia bisa mempersepsi tanpa perantara panca indera (extra sensory perception). Lingkaran 6 mewakili aspek energi psikis (kekuatan bathiniah) di mana individu secara jelas menghayati dirinya sebagai telah mentransendir/melewati kesadaran sensoris dan pada saat yang sama menyadari pengintegrasian dirinya dengan medan-medan energi yang lebih besar. Fenomena-fenomena para psikologi dapat dialami pada tingkat kesadaran ini. Lingkaran 7 mewakili bentuk penghayatan paling tinggi-penyatuan mistis atau pencerahan, di mana diri seseorang mentransendir dualitas dan menyatu dengan segala yang ada. Melewati ke tujuh tingkat yang disebutkan itu, dikatakan ada lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua tingkat dihayati secara simultan.
Konsep dari McWater ini dapat menjelaskan bagaimana seseorang mencapai kualitas diri melalui metode tafakur. Ketika seseorang berada pada fase pertama dalam bertafakur berarti dia berada pada dunia fisik yaitu pengetahuan yang didapat dari fungsi indera. Sebuah kejadian akan dipersepsi secara empiris yang langsung melalui pendengaran, penglihatan atau alat indera lainnya, atau secara tidak langsung seperti pada fenomena imajinasi, pengetahuan rasional yang abstrak, yang sebagian pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi.
Jika seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang inderawi menuju rasa kekaguman (tadlawuk) dimana pada tahap ini adalah tahap bergejolaknya perasaan, di sini kita melihat bahwa tahap ini sesuai dengan tahap kedua dari McWater yaitu emosional. Pada tahap selanjutnya, dengan bertafakur aktivitas kognitif seseorang mulai dilibatkan, disinilah tafakur sangat berperanan dalam proses pengintegrasian ketiga komponen tadi yaitu fisik, emosi dan intelektual.
Kemudian jika hasil pengintegrasian seseorang ini ditransendensikan kepada Allah maka kualitas seseorang tadi akan meningkat dari personal menuju transpersonal. Badri (1989) mencontohkan seseorang yang sudah pada tahap transpersonal ini “perasaan kagum manusia terhadap keindahan dan keagungan penciptaan serta perasaan kecil dan hina di tengah malam, yang ia saksikan merupakan fitrah yang sudah diberikan Allah kepada manusia untuk dapat melihat semua yang ada di langit dan di bumi sehingga ia dapat menemukan sang pencipta, merasakan khusuk terhadap-Nya, dan dapat menyembah-Nya, baik karena takut atau karena cinta”.
Dari ungkapan tersebut dapat kita lihat bahwa seseorang yang mengakui bahwa keindahan itu adalah ciptaan Allah maka berarti dia sudah memasuki dunia transpersonal. Keberadaan Allah bukan lagi kerja kognitif tapi keyakinan atau intiutif, sehingga dengan keyakinan yang penuh akan menimbulkan penghayatan yang universal seperti mampu khusuk ketika beribadah, rasa cinta yang menggelora, hal ini seperti yang dirasakan Al-Halaj ketika cinta menggelora mengakibatkan dia merasa menyatu dengan Tuhan sehingga Al-Halaj mengatakan bahwa Tuhan itu saya dan Saya adalah Tuhan.

Penutup
Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa ibadah tafakur yang merupakan ibadah kognitif mampu meningkatkan kualitas diri bila ditransendenkan kepada Allah. Kemampuan mentransendenkan diri kepada Allah ini lah yang merupakan kunci terlampauinya wilayah personal menuju transpersonal sehingga potensi-potensi batiniah dapat diperoleh dan dimanfaatkan.


Daftar Pustaka

An-Najar. 2001. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf (terjemahan). Jakarta : Pustaka Azzam

Badri, Malik. 1989. Tafakur : Perspektif Psikologi Islami (terjemahan). Bandung : Rosdakarya

Hamdani. 1989. Wihdah Asy Syuhud sebagai Esesnsi Ibadah. (Kumpulan Artikel). Tidak diterbitkan

Noesjirwan, joesoef. 2000. Konsep Manusia Menurut Psikologi Transpersonal (dalam Metodologi Psikologi Islami). Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Zohar, Danah., Marshal, Ian. 2000. SQ : Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan (terjemahan). Bandung : mizan

Transcendental Experiences pada Peserta Dzikir “Patrap”

Pendahuluan
Perintisan psikologi transpersonal diawali dengan penelitian-penelitian tentang psikologi kesehatan pada tahun 1960an yang dilakukan oleh Abraham Maslow (Kaszaniak, 2002). Perkembangan psikologi transpersonal lebih pesat lagi setelah terbitnya Journal of Transpersonal Psychology pada tahun 1969 dimana disiplin ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatian pada dimensi spiritual manusia. Penelitian mengenai gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, exctasy, kesadaran ruhaniah, pengalaman transpersonal, aktualisasi transpersonal dan pengalaman transpersonal mulai dikembangkan. Aliran psikologi yang memfokuskan diri pada kajian-kajian transpersonal menamakan dirinya aliran psikologi transpersonal dan memproklamirkan diri sebagai aliran ke empat setelah psikoanalisis, behaviourisme dan humanistik. Psikologi transpersonal memfokuskan diri pada bentuk-bentuk kesadaran manusia, khususnya taraf kesadaran ASCs (altered states of consciosness).
Berkembangnya psikologi transpersonal tidak terlepas dari minat terhadap tradisi agama dan spiritual yang banyak dipraktekan oleh orang Amerika dan Eropa. Salah satunya adalah meditasi, bentuk meditasi yang banyak diminati adalah Transcendental Meditation (TM) yang dikembangkan olah Maharishi Mahes Yogi.
Di dalam kajian psikologi, meditasi didefinisikan sebagai usaha membatasi kesadaran pada satu objek stimulasi yang tidak berubah pada waktu tertentu (Ornstein, 1986). Pada meditasi transendental kesadaran pada objek meditasi ini ditujukan kepada Tuhan yang menciptakan alam semesta, sehingga meditasi transendental ini banyak digunakan sebagai cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan atau penyatuan transendental dengan Tuhan (Subandi, 2002).
Menurut Haryanto (2001) dzikir sebenarnya merupakan salah satu dari bentuk meditasi transendental. Ketika seseorang khusyuk, objek pikir atau stimulasi tertuju pada Allah SWT (dzikrullah) disini ada unsur transenden yaitu mengingat akan Allah, merasakan adanya Allah serta persepsi kedekatan dengan Allah. Menurut Simuh (dalam Anward, 1996) menuturkan dzikrullah akan berhasil bila dilakukan dengan penuh penghayatan dan semata-mata tertuju kepada Allah, tidak terpengaruh lagi terhadap alam sekitar serta kesadaran yang beralih dari fisik ke jiwa. Pada kondisi ini menurut Tart (1975) akan memunculkan keadaan hening dan lebih jauh lagi munculnya fenomena ecstasy.
Dalam artikel ini penulis mengambil kasus pada peserta majelis dzikrullah patrap. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian dari data tersebut diperoleh fenomena-fenomena menarik yang berkaitan dengan transcendental experience yaitu : ASCs, relaxed alertness, cosmic consciousness, dan trance, yang akan diulas satu-persatu.
Perkembangan patrap yang cukup pesat pertama kali disebarluaskan melalui mailling list dzikrullah@yahoogroups.com, dari mailling list inilah kemudian berkembang menjadi praktek dzikir yang dilakukan oleh halaqoh-halaqoh atau kelompok-kelompok di kota-kota besar terutama di Jakarta, Batam, Surabaya, dan Semarang, bahkan beberapa peserta yang melakukan secara individual di luar negeri seperti Belanda, Singapura, malaysia, yang umumnya peserta di luar Indonesia dibimbing oleh Ust Abu Sangkan melalui email.
Dasar-dasar dan praktek dzikir dengan metode patrap ini sudah disusun dan dibukukan dalam sebuah buku yang berjudul “Berguru Kepada Allah” yang ditulis sendiri oleh Ust. Abu Sangkan. Buku tersebut merupakan pengalaman pribadi dari penulisnya, yang melakukan perjalanan spiritual, dalam buku tersebut diuraikan teori bagaimana bersyariat, bertarekat, mencapai hakikat, dan akhirnya makrifat kepada Allah melalui metode dzikir patrap.
Menurut Sangkan (2002) istilah patrap diambil dari kitab pepali karya Ki Ageng Selo, yang menurutnya sesuai dengan arti dan makna dzikrullah dalam bahasa Arab. Dengan kata lain istilah patrap ini sama dengan istilah dzikrullah yang diartikan dalam bahasa jawa, namun bukan kejawen, hanya mengambil istilah saja. Sehingga patrap dapat diartikan sebagai suatu sikap dzikir yang sempurna yang bercirikan penyerahan diri secara total, menggantungkan hidup dan matinya diperuntukkan untuk Allah, serta sikap ingat kepada Allah dalam setiap waktu dan keadaan.
Metode patrap ini merupakan dzikir sekaligus meditasi transendental yang ditandai dengan proses mengkonsentrasikan pada objek pikir Allah, penguasa alam, yang meliputi segala sesuatu, secara intens dan tidak terputus. Dengan dzikir patrap ini seseorang akan diantarkan untuk selalu berdzikir kepada Allah yang tidak hanya sekedar ucapan namun lebih dari itu yaitu dengan kesadaran yang benar-benar sadar, dengan totalitas baik secara kognitif, emosi, bahkan konatifnya sehingga pada kondisi tertentu dapat mencapai altered states of consciousness (keadaan kesadaran yang berubah) dan keadaan transendensi.

Penejelasan tentang transendensi
Isu yang sekarang berkembang di dunia psikologi adalah munculnya spiritual quotient, perkembangan ini tidak hanya diikuti oleh dunia psikologi saja tetapi juga oleh masyarakat luas yang haus akan kedamaian, ketentraman dan sentuhan spiritual. Menurut Zohar (2000) spiritual quotient adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar.
Kecerdasan spiritual ini tidak hanya dimiliki oleh orang beragama, orang awam agama atau bahkan tidak beragama sekalipun bila memiliki kemauan menggembleng diri untuk meningkatkan kemampuan spiritualnya maka akan memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Demikian pula sebaliknya bila orang beragama hanya memperhatikan masalah eksoterik (ritualistik) namun kurang memperhatikan isoterik (kehakikatan) maka akan memiliki tingkat spiritualitas yang rendah. Kemampuan mentransendenkan dirilah yang akan menentukan seseorang memiliki spiriualitas yang tinggi atau rendah.
Menurut Zohar (2000) transenden merupakan suatu yang membawa seseorang mengatasi (beyond) masa kini, mengatasi rasa suka atau duka, bahkan mengatasi diri pada saat ini. Ia membawa seseorang melampaui batas-batas pengetahuan dan pengalaman, serta menempatkan pengetahuan dan pengalaman ke dalam konteks yang lebih luas. Transendensi memberikan kesadaran akan sesuatu yang luar biasa dan tak terbatas, baik sesuatu itu berada pada diri kita sendiri maupun dunia di sekitar kita.
Kesadaran transendensi ini sesuai dengan teori medan kuantum yang menyebutkan bahwa manusia, meja, kursi, hewan, langit dan alam semesta merupakan pola energi yang dinamik yang berada diantara energi yang diam dan tak tereksitasi (hampa kuantum). Hampa kuantum ini tidak memiliki sifat yang dapat dirasakan atau diukur secara langsung. Sifat-sifat yang dapat dirasakan atau diukur tentulah merupakan eksitasi dari hampa kuantum, bukan hampa kuantum itu sendiri.

Munculnya altered states of consciousness
Kesadaran yang dimiliki manusia bersifat multidimensional, kesadaran yang umum digunakan oleh manusia adalah kesadaran yang paling dasar, masih ada tingkat-tingkat kesadaran yang lebih dalam dan lebih tinggi tingkatannya (Adi, 2002). Secara sederhana diterangkan oleh Iramansyah (2001) bahwa kesadaran dibagi menjadi 3 tingkatan. Pertama kesadaran fisik dengan ciri kesadaran diperoleh melalui sensasi fisik, melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, berpikir dengan otak, sedih dan gembira dengan hati. Taraf kesadaran yang kedua yaitu kesadaran jiwa. Kesadaran ini merupakan bentuk pengenalan diri yang lebih dalam dengan menyadari bahwa dirinya bukanlah fisik tetapi makhluk mental. Ciri utama dari kesadaran ini adalah ketenangan karena pada taraf ini tidak ada senang dan tidak susah, dan dirinya adalah sosok yang meyaksikan tubuh, perasaan, pikiran dan alam sekitarnya. Taraf yang terakhir adalah kesadaran ketuhanan. Dirinya menyadari bahwa semua yang materi adalah tiada yang ada hanyalah Tuhan yang menciptakan dan menggerakkan serta yang meliputi segala sesuatu.
Munculnya ASCs pada seseorang dapat dijadikan alat untuk mengakses pengalaman transpersonal dan dapat menjadi suatu bantuan untuk penyembuhan (Adi, 2002). Dengan kemudahan akses pengalaman transpersonal ini seseorang bisa meningkatkan kecerdasan spiritualnya yang oleh Spilka (dalam Subandi, 2002) memiliki ciri: pertama noetic yaitu pengalaman tersebut mampu menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan baru yang valid. Kedua ineffable pengalamannya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ketiga holy berterkaitan komunikasi dengan Tuhan, keempat positive effect, pengalaman tersebut menimbulkan perasaan yang positif kelima paradoxal, kadang berlawanan dengan kenyataan hidup sehari-hari dan terakhir timeless and spaceless, orang merasa terlepas dari dimensi ruang dan waktu.
Keadaan berubahnya kesadaran dari kondisi kesadaran normal menjadi lebih tinggi umumnya dialami oleh peserta patrap. Misalnya mereka menuturkan bahwa dirinya sekarang menjadi pengamat terhadap pikiran dan perasaan, tidak lagi terombang-ambingkan oleh perasaan dan pikirannya. Sebagian mengungkapkan pengalaman spiritualnya tanpa bisa mencari kata apa yang tepat untuk mendiskripsikan pengalaman tersebut. Dan pengalaman yang cukup menarik adalah pembuatan buku “berguru kepada Allah” buku tersebut ditulis tidak berdasarkan pemikiran yang runtut dengan kaidah penulisan buku namun ide-ide tersebut muncul melalui proses transendensi yang keluar begitu saja seperti arus air yang langsung dituangkan dalam bentuk tulisan oleh pengarangnya yaitu Ust Abu Sangkan.

Fenomena Binding problem (cosmic consciousness) sebagai sebuah osilasi saraf sinkron
Hasil wawancara dengan beberapa peserta Patrap menuturkan, ketika dzikir total ke Allah fikiran dan perasaan dipusatkan ke Allah kesadaran diri menjadi kosong dan tidak ada, bahkan beberapa peserta menyatakan bahwa dirinya tidak merasakan lagi tangan, kaki sebagai bagian dari tubuhnya. Selain itu mereka mendapatkan sensasi menyatu dengan alam dan muncul kesadaran bahwa Allah itu ada dan Allah itu satu dan ada dimana-mana.
Cosmic consciousness merupakan pengalaman yang banyak dialami oleh mereka yang melakukan meditasi. Perasaan menyatu dengan alam, merasa diri memiliki keseimbangan dengan sekelilingnya, perasaan ini diikuti oleh perasaan tenang dan meningkatnya ESP (extra sensory perception). Contoh sederhana dari fenomena ini adalah ketika sedang mengendarai mobil, seolah-olah diri kita adalah mobil tersebut, saat mobil menyerempet dinding maka diri kita yang merasakan sakit. Dalam kondisi yang lebih lanjut seseorang akan merasa bersatu dan kadang terdapat persepsi bahwa dirinya tidak ada atau hilang (no mind/zero mind). Fenomena binding problem dapat dijelaskan dengan terjadinya peristiwa saraf yaitu adanya osilasi pada saraf.
Singer (dalam Zohar 2000) mengungkapkan dalam penelitian bahwa bagian otak selalu mengeluarkan sinyal listrik yang terbaca melalui EEG (electroencephalograph) yang berosilasi dengan frekwensi yang berbeda-beda. Sehingga ketika seseorang mempersepsi suatu benda misalnya sebuah gelas maka sel-sel saraf dibagian tertentu akan terlibat dalam proses osilasi secara seragam dengan frekwensi 35-45 Hz. Osilasi sinkron ini menyatukan respon cerapan yang berbeda-beda terhadap gelas tersebut yaitu bentuknya, warnanya, tingginya dan sebagainya, dan hal ini akan memberikan pengalaman tentang benda yang utuh dan solid.
Penemuan Singer ini diperkuat dengan fenomena yang terjadi pada meditator yang menjadi subjek penelitiannya. Praktik-praktik meditasi seperti meditasi transendental, yoga atau yang lainya ketika meditator duduk tegak, kemudian mulai memusatkan perhatian pada objek pikir tertentu selama beberapa menit. Karena tidak ada gangguan otak selama meditasi otak menjadi tenang dan meditator menjadi sangat relaks. Pada tahap selanjutnya meditator bergerak ketahap kesadaran yang kosong dari pemikiran atau isi. Kadang meditator mampu secara sadar mendalami pandangan-pandangan tertentu secara lebih dalam. Keadaan ini membawa meningkatnya gelombang otak koheren pada frekwensi 40 Hz, pengalaman ini dituturkan oleh meditator tentang isi kesadaran yang memasuki keutuhan atau unity yang diiringi dengan menyatunya osilasi sel saraf otak. Kecerdasan unitif (unitive thinking) inilah yang menurut Zohar (2000) merupakan dasar dari kecerdasan spiritual.
Munculnya gejala penyatuan (merging) dimana orang merasa bersatu dengan objek pikir meditasi merupakan suatu bentuk yang oleh Maslow disebut sebagai peak experience (craps, 1993).

Perubahan gelombang otak selama proses dzikir
Efek yang paling sering dialami oleh peserta dzikir metode patrap adalah munculnya kondisi tenang, pernapasan berjalan dengan lebih lambat, badan menjadi rileks dan beberapa dari mereka dapat merasakan keheningan yang sangat dalam sehingga mereka menuturkan ketika kondisi tersebut berlangsung mereka tidak mampu berkata-kata seperti orang melamun tapi tetap sadar.
Fenomena peserta patrap ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hirai (dalam, Subandi 2002) yang menemukan bahwa adanya perubahan gelombang otak selama proses meditasi berlangsung. Dari hasil penelitiannya Hirai membagi menjadi empat tahap : pertama, dalam lima puluh menit gelombang otak berubah dari betha ke alpha. Kedua, gelombang otak makin halus sekitar 50% gelombang alpha muncul ketika subjek menutup mata, ketiga, gelombang otak semakin lambat dan halus, dan keempat, gelombang otak menjadi gelombang tetha yaitu gelombang yang pada umumnya muncul pada saat tidur atau mimpi. Terakhir perubahan makin halus dan menjadi gelombang deltha yang sangat lambat. Ditemukan juga bahwa makin lama seorang berlatih meditasi, makin halus gelombang otaknya. Perubahan-perubahan gelombang otak ini merupakan indikasi dari adanya perubahan tingkat kesadaran dan sangat erat berhubungan dengan pengalaman-pengalaman transendental.
Penelitian Pare-Linas (dalam Zohar, 2000) mengenai osilasi saraf 40 Hz menunjukkan bahwa kesadaran merupakan sifat dari intrinsik otak dan kesadaran itu sendiri adalah proses yang transenden yakni kesadaran yang menghubungkan kita dengan realitas yang jauh lebih dalam dan lebih kaya dari pada sekedar hubungan dan vibrasi beberapa sel saraf.

Pola gelombang otak dan artinya
Tipe
Laju Hz
Tempat/waktu
Arti
Delta
0.5 –3.5
Tidur nyenyak atau koma, sering ditemukan pada otak bayi
Otak tidak melakukan apa-apa
Theta
3.5 – 7
Tidur yang disertai mimpi; pada anak usia 3-6 tahun
Informasi secara berkala dikirim dari suatu area ke area lain, dari hipokampus ke tempat penimpanan yang lebih permanen di kortek
Alfa
7-13
Dewasa; pada anak usia 7-14 tahun
Keadaan relaxed alertness
Beta
13-30
Dewasa
Kerja mental yang terkonsentrasi
Gamma
40
Otak yang sadar, baik dalam kondisi terjaga atau tidur yang disertai mimpi
Cerapan yang dapat diikat atau dipahami (perceptual binding)

200
Baru ditemukan di dalam hipokampus
Fungsi belum ditemukan

Terjadinya trance ketika dzikir berlangsung
Keadaan trance masih menjadi perdebatan di kalangan psikologi apakah trance itu terjadi secara sadar atau tidak. Sebagian ahli berpendapat bahwa trance itu tidak sadar sebab beberapa penelitian membuktikan bahwa mereka yang sedang mengalami trance tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi pada saat trance, yang diajukan peneliti setelah kondisi trance selesai. Namun sebagian ahli yang berpendapat bahwa trance itu bisa dicapai dengan sadar dengan alasan bahwa proses kesadaran yang terjadi pada saat trance adalah terdesaknya kesadaran sehingga muncul kesadaran lain (Kartoatmojo, 1995), kemudian jika kesadaran tersebut terdesak dan orang tersebut mampu mempertahankan kesadarannya maka apa yang terjadi ketika dirinya trance akan diketahuinya dan dia tetap sadar, sehingga seolah-olah memiliki dua bentuk kesadaran. Hal ini seperti terjadi pada kasus hipnosis bila si suyet (terhipnosis) tidak bersedia menyerahkan kesadaran dirinya secara total pada penghipnosisnya maka hipnosa tidak akan terjadi dan suyet tidak mampu dipengaruhi oleh penghipnosis.
Jadi munculnya fenomena-fenomena transpersonal pada saat trance sangat tergantung dari apa yang diinginkan, dipikirkan, dan dibayangkan. Misalnya seorang yang sebelum trance mereka mengharapkan, membayangkan, memikirkan maka dia akan mengkonsentrasikan pada objek pikir tersebut. Misalnya mengkonsentrasikan titik maka akan muncul fenomena seperti berada di suatu tempat yang tinggi, memasuki lorong yang panjang, mendapatkan cahaya sangat terang benderang kemudian dia masuk total dan mengikuti terus fenomena yang muncul maka akan terjadi peristiwa trance yang tidak disadari. Namun bagi mereka yang meniatkan dirinya untuk mendekatkan, memikirkan, merasakan Allah maka fenomena yang muncul seperti perasaan dekat, dan terjadinya proses unbinding dan pada kondisi ini trance yang dialaminya tetap dalam keadaan sadar sebab dia tidak masuk pada fenomena yang muncul tapi tetap menjaga kesadaran untuk tetap pada objek pikir Allah.
Proses terjadinya trance seringkali disertai dengan gerakan-gerakan yang tidak beraturan entah itu disadari ataupun tidak. Gerakan ini disebabkan karena otak mendapatkan rangsangan yang sangat kuat yang selama ini rangsangan itu belum pernah dikenal sebelumnya. Rangsangan yang kuat ini mirip dengan penderita epilepsi ketika dia mendapatkan serangan pada otaknya. Serangan tersebut disebabkan oleh adanya ledakan aktivitas listrik di luar batas normal di area otak tertentu yang menyebabkan bagian lobus temporalis mengalami pengalaman-pengalaman spiritual. Fenomana ini diperkuat dengan penelitian Pesinger (dalam Zohar, 2000) dengan memberikan rangsangan pada otak bagian lobus temporalis maka orang tersebut akan mengalami pengalaman spiritual.
Selama berlangsungnya trance terjadi perubahan-perubahan pernafasan, sikap duduk agak terarah ke belakang, kadang mata terbelalak yang hitam pindah ke atas. Pada kondisi ini orang yang bersangkutan terdapat gejala pengendapan kesadaran, penurunan ini diikuti dengan gejala gerak-gerak, hal ini bisa dicontohkan saat seseorang akan memasuki tidur terdapat gejala tarikan otot, goncangan-goncangan pada tangan dan kaki atau seluruh tubuh (Kartoatmodjo, 1995).
Beberapa aliran spiritual menggunakan trance sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran dan meningkatkan spiritualitas, serta pemusatan energi tenaga dalam. Seperti yang dilakukan oleh perguruan silat Gunung Jati mereka menggunakan metode getaran untuk membangkitkan energi yang tersimpan. Getaran fisik yang terjadi menurut perguruan tersebut dilakukan untuk memancing dan mempercepat tercapainya kondisi beresonansi (ikut begetar) fisik terhadap ruhani sehingga membentuk getaran yang selaras antara fisik dan ruhani. Keselarasan getaran ruhani dan fisik ini menghasilkan penyerapan, pengolahan dan polarisasi (pemusatan) energi, sehingga energi yang dihasilkan atau dihimpun akan jauh lebih besar, lebih padat dan lebih terkonsentrasi serta mempersingkat waktu yang diperlukan (wawancara dengan Guru Besar PSGJ, Feb 2003).
Dalam metode patrap ada salah satu metode yang digunakan yaitu metode gerak. Pada metode ini totalitas ke Allah tidak hanya sebatas kognitif dan afektif tapi diperkuat juga dengan dorongan gerak atau konatif sehingga saat menyambungkan diri (Dzikir dengan kekuatan fisik) dengan Allah kekuatannya akan berbeda dengan patrap duduk. Metode ini sering dilakukan di tempat yang luas biasanya lapangan atau di tepi pantai, dari hasil observasi penulis ketika peserta mempraktekan metode ini gerakan-gerakan yang muncul sangat keras seperti membanting diri, berputar sangat cepat, menjerit sekeras-kerasnya dan ada yang terjatuh kemudian kejang-kejang mirip seperti orang terserang epilepsi.
Menurut tinjauan penulis ketika patrap gerak berlangsung, terutama ketika memulai total ke Allah baik secara kognitif, afektif maupun konatifnya maka saraf yang berada di lobus temporalis dirangsang secara kuat, saraf di lobus temporalis ini oleh beberapa ahli disebut dengan god spot (titik tuhan). Ketika lobus temporalis ini disodori hal-hal yang bersifat spiritual akan menunjukkan aktivitasnya. Semakin kencang dan kuat rangsangan terhadap saraf di lobus temporalis ini maka loncatan listrik yang terjadi juga semakin besar, kondisi yang tidak stabil ini mengakibatkan goncangan fisik yang berupa kejang, dan gerakan-gerakan kasar serta tidak beraturan, disinilah terjadi trance secara sadar. Goncangan fisik yang terjadi tanpa kehendak patrapis akan menimbulkan pemahaman tersendiri bahwa dia memiliki kesadaran lain selain kesadaran fisik yang dipakai selama ini. Loncatan kesadaran ini membuka wawasan yang sangat luas bagi pelaku baik secara kognitif maupun emosinya. Disinilah terjadinya peningkatan kesadaran atau munculnya altered states of consciousness dan munculnya kesadaran transendensi. Kesadaran akan kekuatan diluar dirinya itulah menurut mereka merupakan kebenaran dari kalimat hauqolah : laa haula wallaa quwata illa billahil aliyyil adzim tidak ada kekuatan selain kekuatan dari Allah ta’ala yang maha agung.

Fenomena terhambatnya rasa sakit.
Pada saat seseorang bermeditasi maka perhatian penuh pada objek meditasinya, perhatian yang penuh ini menyebabkan seseorang kehilangan rangsang inderanya. Fenomena ini sering disebut dengan self hypnosis sebab dengan cara ini seseorang dapat menghipnosa dirinya sendiri sehingga ketika meditasi berlangsung dia tidak merasakan apapun meskipun tubuhnya kena rangsangan yang menyakitkan.
Teori kontrol pintu gerbang (gate-control theory) mengatakan bahwa hilangnya rasa sakit ketika seseorang bermeditasi karena adanya rangsang yang lebih besar dibanding rangsang dari luar tersebut yang menghambat rangsang tersebut masuk ke otak. Rangsang yang lebih besar pada saat seseorang bermeditasi adalah adanya ASC (altered states of consciousness) kondisi ini menimbulkan perasaan damai, tenang, dan menyenangkan sehingga menghambat rangsang yang masuk pada otak (Subandi, 2002).
Fenomena terhambatnya rasa sakit ini sering dialami oleh peserta patrap seperti tidak merasakan gigitan nyamuk ketika berpatrap (berdzikir), fenomena ini sangat kelihatan ketika berlangsungnya patrap gerak, beberapa kali penulis menyaksikan dari latihan yang dilakukan mereka tidak merasakan sakit ketika kepala terbentur dinding atau lantai. Bahkan beberapa dari peserta yang senior melakukan patrap gerak di jalan yang beraspal, mereka membanting, berputar, terbentur dan mereka tidak merasakan sakit ataupun terluka.

Penutup
Kajian-kajian psikologi yang lebih mendalam tentang transendensi masih sangat kurang. Luasnya lahan pengalaman transendensi dan sedikitnya orang yang mengalaminya menjadikan salah satu penyebab kajian-kajian transendensi bergerak lambat. Demikian pula kajian-kajian ilmiah isoterik keislaman juga jarang diulas bahkan kajiannya tidak mendapatkan tempat karena adanya fitnah bahwa hal tersebut berkaitan dengan khurafat dan takhayul serta tidak ilmiah. Tuduhan demikian, tanpa mau meninjau lebih dalam terhadap suatu fenomena alami sangat menghambat perkembangan psikologi islam dan membentuk suasana yang kurang sehat dalam kajian keilmuan. Mudah-mudahan artikel singkat ini memacu dan menambah semangat kita dalam mengkaji masalah-masalah spiritual keislaman sehingga psikologi islam tidak hanya berkutat pada bagaimana mencari format dan merumuskan konsep tapi lebih pada action menggali dunia psikologi islam secara riil.

Daftar Pustaka
Adi, Arif Wibisono, 2002. Psikologi Transpersonal : Kasus Sholat. makalah seminar

Anward, HH. 1997. Dzikrullah sebagai Jalan Mendapatkan Nur Ilahi: Suatu Transcendental being dan terapi. Makalah

Badri, Malik. 1996. Tafakur : Perspektif Psikologi (terjemahan). Bandung : Remaja Rosdakarya offset

Crapps, Robert W. 1993. Dialog Psikologi dan Agama (terjemahan). Kanisius : Yogyakarta

Effendi, Irmansyah. 2001. Kesadaran Jiwa. Jakarta : Gramedia

Haryanto, Sentot. 2001. Psikologi Sholat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Kaszaniak, Alfred., 2002. Altered States of Consciousness: Definition, Characteristic, and Induction Conditions. Class note

Kartoatmodjo, Susanto. 1995. Parapsikologi (parapsikologi, parergi dan data paranormal). Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Sangkan, Abu. 2002. Berguru Kepada Allah. Jakarta : Yayasan Bukit Thursina

Subandi, et al. 2002. Psikoterapi (kumpulan artikel). Yogyakarta : Unit Publikasi Faklutas Psikologi UGM.

Supardan. 1983. Paket biokimia. Malang : Lab Biokimia Universitas Brawijaya

Zohar, Danah., Marshal, Ian. 2000. SQ (memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan) terjemahan. Bandung : Mizan

Thursday, February 22, 2007

terapi doa

PSIKOTERAPI DOA
Setiyo Purwanto, S. Psi, MSi.

Pada tahun 1984 WHO memasukkan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu, terapi terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual keagamaan, terapi yang demikian disebut dengan terapi holistik artinya terapi yang melibatkan fisik, psikologis, psikososial dan spiritual (Ariyanto, 2006). The American Psychiatric Association (APA) mengadopsi gabungan dari empat dimensi di atas dengan istilah paradigma pendekatan biopsikososispiritual (Hawari, 2002). Lokakarya yang diselenggarakan APA pada tahun 1993 dengan judul Religion and Psychiatry Model of Partnership memberikan suatu anjuran untuk menambahkan terapi keagamaan disamping terapi psikis dan medis (Hawari, 2002).
Larson (1992) dan beberapa. pakar lainnya dalam berbagai penelitian yang berjudul Religious Commitment and Health, menyimpulkan bahwa di dalam memandu kesehatan manusia yang serba kompleks ini dengan segala keterkaitannya, hendaknya komitmen agama sebagai suatu kekuatan (spiritual power) jangan diabaikan begitu saja. Agama dapat berperan sebagai pelindung lebih dari pada sebagai penyebab masalah.
Pentingnya agama sebagai kelengkapan pemeriksaan psikiatrik dapat dilihat dalam textbook of psychiatry yang berjudul Synopsis of Psichiatry, Behavioral Sciences and Clinical Psychiatry karangan Kaplan dan Sadock (1991). Di dalam. buku tersebut disebutkan bahwa dalam wawancara psikiatri dokter (psikiater) hendaknya dapat menggali latar belakang kehidupan beragama dari pasien dan kedua orangtuanya, serta secara rinci mengeksplorasi sejauh mana mereka mengamalkan ajaran agama, yang dianutnya. Bagaimanakah sikap keluarga terhadap agama, taat atau longgar (strict or permissive); adakah konflik di antara kedua orangtuanya dalam. memberikan pendidikan agama kepada anak‑anaknya. Psikiater hendaknya dapat menelusuri riwayat kehiduipan beragama pasiennya, sejak masa kanak‑kanak hingga dewasa; sejauh mana. pasien terikat dengan ajaran agamanaya, sejauh mana kuatnya, dan sejauh mana mempengaruhi kehidupan pasien, pendapat pasien berdasarkan keyakinan agamanya terhadap terapi psikiatrik dan medik lainnya, serta bagaimanakah pandangan agamanaya terhadap bunuh diri dan sebagainya, (Hawari, 2002:).
Di ASEAN pentingnya terapi agama dalam psikoterapi mulai diperhatikan pada tahun 1995. Dalam Konggres ke lima Kedokteran Jiwa/Kesehatan Jiwa seASEAN di Bandung pada bulan Januari 1995, topik Psikiatri dan Agama merupakan salah satu topik bahasan dengan menampilkan tiga juduI makalah: New Concept of Holistic Approach in Indonesian Psychiatry and Mental Health; New Approach in the treatment of Depression; dan Religion issues in Psychiatric Practice (Hawari, 1997).
Di Indonesia beberapa konselor dan terapis telah memakai agama sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam konsultasi dan terapi psikisnya. Misalnya Prof. DR. Zakiah Daradjat dan Prof. DR. dr. Dadang Hawari. Keduanya juga menerbitkan beberapa buku yang berkaitan dengan konseling dan psikoterapi agama. Prof DR Zakiah Daradjat antara lain menerbitkan beberapa buku yang berjudul: Peranan Agama dalam Kesehatan Mental (1973), Islam dan Kesehatan Mental (1983), Do'a Menunjang Semangat Hidup (1992), Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental (1993)., Prof DR. dr. Dadang Hawari menerbitkan beberapa. Buku antara lain: Konsepsi Islam Memerangi AIDS dan NAZA (1996), Al Qur',an Kedokteran Jiwa dan Kesehatan jiwa (1997), Doa dan Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis (1997) Gerakan Nasional Anti mo limo., Madat, Minum, Main, Maling, dan, Madon (2000), Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofreni (2001), Terapi (Detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantren) Mutakhi (Sistem terpadu) Pasien Naza (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif Lain) Metode Prof Dr. dr. H. Dadang Hawari Psikiater (2001), Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif) (2001), Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi (2002), Manajemen Stres Cemas dan Depresi (2002).
Di samping itu di beberapa pesantren, para kyai dan ustadz juga melakukan kegiatan konseling dan psikoterapi dengan menggunakan agama. Misalnya Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Pesantren Raudhatul Muttaqien Yogyakarta, PesantrenAl-Ghafur Situbondo, Pesantren An-Nawawi Bojonegoro (Rendra, 2000), PesantrenAl-Islamy Yogyakarta (Arif, 2005), dan beberapa pesantren lainnya yang tidak disebutkan di sini.

Penelitian Terapi yang Menggunakan Doa
Di San Francisco, AS studi untuk mengetahui efektivitas doa dan zikir dilakukan terhadap 393 pasien jantung. Responden dibagi dalam dua kelompok secara acak. Kelompok pertama memperoleh terapi doa dan zikir, lainnya tidak. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang mendapatkan terapi doa hanya sedikit yang mengalami komplikasi. Sementara pada kelompok yang tidak diberi terapi doa timbul berbagai komplikasi.
Dr. Oxman, TE dan kawan-kawan mengemukakan bahwa salah satu faktor prediksi yang kuat bagi keberhasilan operasi jantung adalah tingkat keimanan pasien. Dari studi yang mereka lakukan terbukti bahwa semakin kuat keimanan pasien, kian kuat pula proteksinya terhadap kematian akibat operasi. Kesimpulan itu mereka tuangkan dalam artikel berjudul Lack of Social Participation or Religious Strength or Comfort as Risk Factors for Death after Cardiac Surgery in The Elderly, yang dimuat Psychosomatic Medicine. Penelitian lain tentang kaitan doa dan kematian akibat penyakit juga dilakukan Comstock dan kawan-kawan sebagaimana termuat dalam Journal of Chronic Disease. Dinyatakan bahwa mereka yang melakukan kegiatan keagamaan secara teratur disertai doa, memiliki risiko kematian akibat penyakit jantung koroner lebih rendah 50% dibanding mereka yang tidak melakukan kegiatan keagamaan. Sementara kematian akibat emfisema (paru-paru) lebih rendah 56%, kematian akibat penyakit hati (sirosis hepatis) lebih rendah 74% dan kematian akibat bunuh diri lebih rendah 53%.Bukti lain datang dari penelitian Robbins dan Metzner yang dilakukan selama 8-10 tahun terhadap 2700 responden didapati bahwa responden yang rajin menjalankan ibadah serta berdoa, angka kematiannya jauh lebih rendah dibandingkan yang tidak beribadah.Penelitian Larson dan kawan-kawan terhadap para pasien tekanan darah tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol (bukan pasien hipertensi), diperoleh kenyataan bahwa komitmen agama kelompok kontrol lebih kuat. Selanjutnya dikemukakan kegiatan keagamaan seperti doa dapat mencegah seseorang dari penyakit hipertensi.
Dokter Larry Dossey, M.D., seorang dokter dari Mexico, menjelaskan bahwa dalam sejumlah penelitian tentang doa menunjukkan bahwa doa dapat menyembuhkan. Jarak tidak mempengaruhi dalam kemanjuran doa, apakah doa tersebut dilakukan di dekat pembaringan pasien, di luar kamar, atau di seberang lautan. Dalam bukunya Healing Words dia menulis sebagai benkut:
Penyembuhan yang berkaitan dengan doa, yang menjadi pusat perhatian buku ini merupakan suatu terapi murni Era III Mengapa tak terikat tempat? Setelah banyak melakukan penelitian, saya tidak bisa menemukan seorang pakar pun yang mau mengatakan bahwa tingkat pemisahan jarak antara orang yang berdoa dengan pasien merupakan factor dalam hal kemanjurannya. Orang‑orang yang mempraktekkan penyembuhan melalui doa semuanya mengatakan bahwa pengaruh-pengaruh doa tidak dipengaruhi oleh jarak, doa itu sama manjurnya walaupun yang berdoa dan yang menjadi tujuan doa terpisah .oleh samudera atau ada di balik pintu atau cuma di sisi tempat tidur.
Studi terhadap sekelompok orang memperlihatkan bahwa doa secara positif mempengaruhi tekanan darah tinggi, luka, serangan jantung, sakit kepala, dan kecemasan. Subyek‑subyek dalam studi ini mencakup pula air, enzim, bakteri, jamur ragi, sel-sel darah merah, sel-sel kanker, sel-sel pemacu, benih, tumbuhan, ganggang, larva, ngengat, tikus, dan anak ayam; dan di antara proses‑proses yang telah dipengaruhi adalah proses kegiatan enzim, laju pertumbuhan sel darah putih leukemia, laju mutasi bakteri, pengecambahan dan laju pertumbuhan berbagai macam benih, laju penyumbatan sel pemacu, laju penyembuhan luka, besarnya gondok dan tumor, waktu yang dibutuhkan untuk bangun daripembiusan total, efek otonomi seperti kegiatan elektro-dermal kulit, laju hemolisis sel‑sel darah merah, dan kadar hemoglobin.
Perlu diingat bahwa akibat yang ditimbulkan oleh doa tidak terpengaruh jarak. Apakah orang yang berdoa berada dekat atau jauh dari dengan organisme (obyek) yang didoakan; penyembuhan dapat berlangsung entah di tempat itu juga atau di tempat lain. Tak ada satupun yang nampaknya sanggyp menghambat atau meng­hentikan doa. Bahkan walaupun "obyek " yang didoakan itu ditempatkan di sebuah ruangan berlapis timah atau ruangan yang tidak bisa ditembus berbagai macam energi gelombang elektromagnetik,‑ toh akibat doa masih bisa menembus

Senada dengan di atas, Linda 0' Riordan R.N., pendiri dan direktur Healthy Potentials, sebuah organisasi kesehatan integrative di Amerika Serikat dalam bukunya The Art of Sufi Healing menyatakan:
Artikel‑artikel penelitian tentang pengaruh yang terukur dari doa mulai diterbitkan dalam jurnal professional. Sebuah studi di VSCF Medical Center baru-baru ini menemukan bahwapasien operasi jantungyang didoakan oleh orang lain tampak jauh lebih mampu bertahan, pasien tersebut juga mengalami komplikasi yang lebih sedikit dan lebih singkat waktu perawatannya. Studi lain mengindikasikan bahwa orang yang berdoa teratur merasa lebih baik dan lebih merasa damai. Frekuensi doa sama halnya dengan ftekuensi membaca kitab suci, memiliki korelasi positif dengan kesehatan semakin sering berdoa, maka kesehatan semakin baik.
Institut Pengobatan dan Doa Santa Fe menyajikan bukti‑bukti ilmiah seputar masalah doa kepada para praktisi kesehatan dan mengembangkan metode menggabungkan praktik spiritual ke dalam praktik pengobatan aktual.

Prof Dr. Zakiah Daradjat, pakar dan praktisi konseling dan psikoterapi Islam, berpendapat bahwa doa dapat memberikan rasa optimis, semangat hidup dan menghilangkan perasaan putus asa ketika seorang menghadapi keadaan atau masalah-masalah yang kurang menyenangkan baginya. Dalam hal ini dia menyatakan:
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, ditemukan aneka ragam cara menghadapi masalah atau keadaan yang kurang menyenangkan. Ada orang yang mudah patah semangat, menyerah kepada keadaan, kehilangan kemampuan untuk mengatasi kesulitan, bahkan menjadi putus asa dan murung. Misalnya orangyang ditimpa suatu penyakit yang membahayakan, seperti penyakit jantung, kanker, lever dan sebagainya. Orang yang lemah semangat hidupnya, akan tenggelam dalam kesedihan, dan membayangkan kematian yang akan segera datang menghampirinya, seolah-olah setiap saat nyawanya akan putus. Orang yang dulu kuat bersemangat, kini menjadi lemah tak berdaya, sedih dan takut menghadapi maut yang terasa mengintip-intip kesempatan untuk menerkam dirinya.
Obat dan nasihat dokter tidak dapat menolongnya dari perasaan duka, kecewa, takut bercampur penyesalan terhada perangai dan ulahnya di masa lalu, karena ia dulu kurang menjaga kesehatan, bahkan kadang‑kadang ia menyesali Allah kenapa tidak meliondunginya dari penyakit. Selanjutnya ketakutan menghadapi maut dihubungkannya dengan azab kubur, neraka dan segala siksa yang ditimpakan kepada orang berdosa di hari kiamat nanti.
Orang yang demikian sering dikatakan kehilangan semangat hidup. Keadaan kejiwaan seperti itu, menyebabkan dirinya menjadi murung, putus asa, sedih dan seolah-olah ia tidak mau berjuang menghadapi penyakitnya. Bagi orang yang taat beribadah, dan selalu merasa dekat kepada Allah S. W T do'a menjadi penun­jang bagi semangat hidup yang tiada taranya. Ia tidak akanpernah kehilangan semangat hidup, kare­na ia yakin bahwa yang memberi hidup itu adalah Allah, dan tiada
penyakit yang dapat membunuh, jika Allah tidak izinkan, dan ia yakin bahwa tiada perangai manusia dan kekalu tan keadan yang membawa kiamat, bila Allah tidak menghendakinya Jadi do'a amat penting dalam kehidupan manusia, baik mereka yang terbelakang, maupun yang maju. Dan doa adalah penunjang semangat hidup yang amat penting.............................. D'oa memang penting bagi ketenteraman batin. Dengan berdo'a kita memupuk rasa optimis di dalam diri, serta menjauhkan rasa pesimis dan putus asa. Lebih dari itu semua, do'a mempunyai peranan penting dalam penciptaan kesehatan mental dan semangat hidup. Do'a mempunyai makna penyembuhan bagi stress dan gangguan kejiwaan. Doa juga mengandung manfaat untuk pencegahan terhadap terjadinya kegoncangan jiwa dan gangguan kejiwaan. Lebih dari itu, do'a mempunyai manfaat bagi pembinaan dan peningkatan semangat hidup. Atau dengan kata lain, do'a mempunyai fungsi kuratif, preventif dan konstruktif bagi kesehatan mental (Zakiah, 1992).

Dadang Hawari, Psikiater yang mengembangkan psikoterapi holistik, berpendapat bahwa doa menimbulkan ketenangan. Dia menulis sebagai berikut:

Para peneliti seperti Harrington, A., Juthani, N. V (1996) dan Monakov, V, Goldstein (1997) mencoba mencari hubungan antara ilmu pengetahuan (neuroscientific concepts) dengan dimensi spiritual Yang hingga sekarang masih belum jelas, namun diyakini adanya hubungan tersebut. Dalam presentasinya yang berjudul Brain and Religion: Undigested Issues diyakini adanya God Spot dalam susunan sarafpusat (otak). Sebagai contoh misalnya orang Yang menderita kecemasan, kemudian diberi obat anti cemas, maka yang bersangkutan akan menjadi tenang. Namun orang Yang sama bila memanjatkan doa dan disertai zikir ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa juga akan memperoleh ketenangan. Oleh karena itu amatlah tepat apa Yang dikatakan oleh Christy, JH (1998) Yang menyatakan Prayer as Medicine; namun hal ini tidak berarti terapi dengan obat (medicine) diabaikan.... (Hawari, 2002).

Di samping itu doa juga menimbulkan rasa percaya diri (selfconfident) dan optimis (harapan kesembuhan). Ini. merupakan dua. hal yang amat essensial bagi penyembuhan. suatu penyakit, disamping obat‑obatan dan tindakan medis. Dalam hal ini dia menulis sebagai berikut:

Dipandang dari sudut kesehatan jiwa, doa dan dzikir mengandung unsur psikoteraputik Yang men­dalam. Pasikoreligius terapi ini tidak kalah pentingnya diban­dingkan denganpsikoterapipsikia­trik karena ia mengandung kekua­tan spirituallkerohanian Yang membangkitkan rasa percaya diri dan rasa optimisme (harapan kesembuhan). Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri (self konfident) dan optimisme, merupakan dua hal Yang amat essensial bagipenyem­buhan suatu penyakit di samping obat‑obatan dan tindakan medis Yang diberikan (Hawari, 1998: 8).

Dr. Moh. Sholeh, psikiater, penulis disertasi Pengaruh Salat Tahajjud terhadap Peningkatan Respons Ketahanan Tubuh Imunologik, Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi (2000), menyatakan bahwa doa merupakan autosugesti yang dapat mendorong seseorang berbuat sesuai dengan yang didoakan dan dapat merubahjiwadanbadan. Diamenulis pengwuh doa sebagai berikut:

Dari segi hipnotis, Yang menjadi landasan dasar teknik terapi sakit jiwa. Ucapan sebagaimana terse­but di atas merupakan "autosugesti", yang dapat mendorong kepada orang yang mengucapkan untuk berbuat sebagaimana yang dikatakan. Bila doa itu diucapkan dan dipanjatkan dengan sungguh­sungguh, maka pengaruhnya sa­ngatjelas bagiperubahanjiwa dan badan (H. Aulia, 1970). Dan menu­rut Robert H. Thouless (1991) doa sebagai teknik penyembuhan gangguan mental, dapat dilakukan dalam berbagai kondisi yang terbukti membantu efektifitasnya dalam mengubah mental seseorang (Sholeh, 2005)

Menurut Ibrahim Muhammad Hasan al‑Jamal, dengan berdoa orang akan merasakan kehadiran Allah SWT, kedamaian, ketenangan, meninggikan spiritual, dan memperkuat motivasi yang positif disebutkan Dalam bukunya Al‑Istisfa'bi ad­ Do'a sebagai berikut:

Mereka juga mengatakan, "Kalau kita melihat doa secara medis dan dampak positifnya terhadap jiwa, maka kita akan mengetahui bahwa doa sesungguhnya berfungsi untuk mempersiapkan seorang Mukmin yang selalu bisa merasakan keha­diran Yang Mahatinggi lagi Maha­kuasa di hadapannya. Sehingga dengan doanya dia akan merasa sedang melakukan kontak dengan Dzat Yang apabila menghendaki segala sesuatu hanya mengatakan, 'Jadilah (kamu) maka jadilah ia

(kun fayakun). "Selain itu, dia akan dapat merasakan kedamaian dan ketenangan. Diajuga akan dapat merasakan betapa berharganya suatu kenikmatan ketika ia sudah tidak lagi mampu merasakan kenikmatan yang ada di dunia ini. Kesemuanya itu akan dapat memcu meningginya kekuatan nilai­nilai spiritualnya, memperkuat motivasinya dan menjadikan sebab segal ajenis penyaki tjiwa dan syaraf tidak menghinggapinya. "
Sungguh, ucapan adalah modal dasar pengobatan modern untuk menguatkan nilai‑nilai mentalpengi­dap penyakit kefiwaan. Sedangkan doa adalah sarana terpenting untuk itu. Hal itu disebab‑kan karena doa mampu memberikan ilham kepada jiwanya dan karenanyapendoa bisa memperoleh makanan sekaligus obat bagi roh danjiwanya. Selain ity, doa juga sebagai penguat dan pengokoh motivasinya yang positif Sehingga doa dapat menjadikan roh dan jiwa mampu mengalahkan segala apa yang menimbulkan dampak negative terhadapnya. Pada gilirannya nanti roh danjiwa tersebut tidak bisa ditembus oleh sifatputus asa dan tidakpula bisa dicengkram oleh sifat lemah (mudah patah semangat) (Al‑Jamal, 2003)

Keimanan kepada Tuhan merupakan faktor amat penting untuk membuat orang percaya bahwa doa memang ampuh dalam membantu proses penyembuhan penyakit. Suatu survei mengenai hal itu pernah dilakukan majalah TIME, CNN, dan USA Weekend. Rata-rata survei itu menunjukkan lebih dari 70% orang menyatakan percaya bahwa doa dapat membantu proses penyembuhan. Dari survei tersebut terungkap bahwa banyak pasien membutuhkan terapi keagamaan selain obat-obatan atau tindakan medis lainnya. Lebih-lebih dari 64% orang berharap agar para dokter juga memberikan terapi psikoreligius dan doa.Dr. Dale A. Matthews, dari Universitas Georgetown, Amerika Serikat mengamati paling tidak ada 212 penelitian tentang terapi doa yang telah dilakukan. Dari jumlah itu 75% menyatakan bahwa komitmen agama, di antaranya dalam bentuk doa dan zikir menunjukkan pengaruh positif pada pasien.

Doa dalam Islam
Rasulullah saw dilihat dari salah satu sisi kehidupannya adalah sebagai konselor dan terapis. Dia sering memberi beberapa nasihat pada orang yang sedih, cemas, takut, dan gangguan kejiwan lainnya melalui metode doa. Doa secara harafiah berarti ibadah, istighotsah memohon bantuan dan pertolongan (al-baqoroh 23) permintaan permohonan (Al-mukmin 60) percakapan (yunus 10) memanggil dan memuji (Al Israa 110). Adapun pengertian doa secara istilah ialah melahirkan kehinaan dan kerendahan diri serta menyatakan hajat dan ketundukan kepada Allah (ariyanto, 2006).
Beberapa fadilah yang berkenaan dengan doa dapat kita lihat dari ayat berikut
1. Dan Tuhanmu berfirman berdoalah kepada-Ku niscaya akan aku perkenankan bagimu, sesungguhnya orang orang yang menyombongkan diri dari menyembahku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina. (surat Ghafir 60)
2. dan apabila hamba hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka jawablah bahwasannya adalah aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apa bila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada kebenaran (Al Baqoroh 186)
3. Dalam sabda Nabi saw doa adalah ibadah, Tuhanmu telah berfirman berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (H.R Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah)
4. sabda Nabi saw tidak ada seorang muslimpun yang berdoa kepada Allah dengan suatu permohonan yang tidak mengandung unsur dosa maupun pemutusan tali kerabat kecuali Allah akan memberikan kepadanya satu diantara 3 hal yakni permohonan yang dikabulkan, permohonannya dia simpan untuk urusan akhiratnya, atau dia akan menjauhkannya dari kejahatan yang sepadan dengan doa yang dia baca. Para sahabat bertanya : jika demikian kami memperbanyak doa. Nabi bersabda Allah maha lebih banyak karunianya (HR Turmudzi dan Ahmad)
Dalam doa terkandung juga unsur dzikir dan dzikir ini memiliki pengaruh terapi terhadap jiwa seperti yang diuraikan oleh DR. Hanna menjelaskan bahwa secara umum dzikrullah adalah perbuatan mengingat Allah dan keagungan-Nya dalam bentuk yang meliputi hampir semua bentuk ibadah, perbuatan baik, berdoa, membaca Al-Quran, mematuhi orang tua, menolong teman dalam kesusahan dan menghindarkan diri dari kejahatan serta perbuatan zalim. dalam arti khusus, dzikrullah adalah menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dengan memenuhi tata tertib, metode, rukun dan syarat sesuai yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Salah satu petunjuk Alquran tentang pelaksanaan dzikrullah adalah : dan sebutlah (Nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. Bagaimana penjelasan dzikrullah akan melahirkan penghayatan tenang dan tentram? Melongok pada tinjauan psikologis, dalam buku Integrasi Psikologi dengan Islam, dijelaskan bahwa dzikrullah dengan penuh kekhusyuan dan terus menerus akan membiasakan sanubari kita senantiasa dekat dan akrab dengan Allah SWT. Selanjutnya, secara tak disadari akan berkembanglah kecintaan yang mendalam kepada Allah SWT (hubbullah) dan semakin mantaplah hubungan hamba dengan Rabbnya (hablun minAllah). Secara psikologis akan berkembanglah penghayatan akan kehadiran Allah SWT dalam setiap gerak gerik kehidupan. Ia tak merasa hidup sendirian di dunia, karena ada Dzat yang Maha Mendengar segala kesusahan yang dihadapi. Ketenangan dari dzikrullah akan menghasilkan dampak relaksasi yang bermakna bagi seseorang yang menjalani proses penyembuhan)

Tahap tahap Psikoterapi Doa
1. Tahap kesadaran sebagai hamba
Inti dari terapi ini adalah pembangkitan kesadaran, kesadaran terhadap kehambaan dan kesadaran akan kelemahan sebagai manusia. Bentuk kesadaran ini akan menghantarkan seseorang yang berdoa berada pada keadaan lemah. Tanpa adanya kesadaran akan kelemahan diri ini maka kesungguhan dalam berdoa sulit dicapai. Hakikat berdoa adalah meminta, yang meminta derajatnya harus lebih rendah dari pada yang dimintai. Untuk itu sebelum seseorang berdoa diharuskan untuk merendahkan diri dihadapan Allah.
Bentuk kesadaran diri ini dapat dilakukan dengan melihat kepada diri sendiri misalnya melihat jantung bahwa jantung itu bergerak bukan kita yang menggerakkan, darah yang mengalir bukan atas kehendak kita, atau juga dapat melihat masalah yang sedang dihadapi, ketidakberdayaan, ketidakmampuan mengatasi hal ini dimunculkan dalam kesadaran sehingga bukan nantinya dapat menimbulkan sikap menerima dan sikap pasrah.
Pada tahap ini seseorang juga disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit yang dialami. Penyakit tersebut bukan ditolak namun diterima sebagai bagian dari diri kemudian dimintakan sembuh kepada Allah.
2. Tahap penyadaran akan kekuasaan Allah swt
Selanjutnya setelah diri sadar akan segala kelemahan dan segala ketidakmampuan diri maka pengisian dilakukan yaitu dengan menyadari kebesaran Allah kasih sayang dan terutama adalah maha penyembuhnya Allah. Tahap ini juga menimbulkan pemahaman tentang hakikat sakit yang dialami bahwa sakit berasal dari Allah dan yang akan menyembuhkan adalah Allah. Penyadaran akan kekuasaan Allah ini dapat dilakukan dengan melihat bagaimana Allah menggerakkan segala sesuatu, menghidupkan segala sesuatu
Tahap ini juga dapat menumbuhkan keyakinan kita kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan. Bagaimamana seseorang dapat berdoa kalau dirinya tidak mengenal atau meyakini bahwa Sang Penyembuh tidak dapat menyembuhkan. Yakin juga merupakan syarat mutlak dari suatu doa karena Allah sesuai dengan prasangka hambanya, jika hambanya menyangka baik maka Allah baik demikian pula sebaliknya. Kegagalan utama terhadap jawaban Allah atas doa yang kita panjatkan kepada Allah adalah keraguan kita. Seringkali ketika berdoa namun hati mengatakan ”dikabulkan tidak ya” atau mengatakan ”mudah-mudahan dikabulkan” kalimat ini maksudnya tidak ingin mendahului Allah tapi sebenarnya adalah meragukan Allah dalam mengabulkan doa kita.
Ada perbedaan antara mendahului kehendak Allah dengan keyakinan yang tujukan kepada Allah. Jika mendahului biasanya menggunakan kata seharusnya begini, harus begini, tapi jika yakin kita optimisme akan kehendak Allah dan tidak masuk pada kehendak Allah.
Sebagai contoh bila kita berdoa ya Allah hilangkan kesedihan hati saya maka kita yakin kepada Allah bahwa Allah memberikan kesembuhan. Hal yang penting juga adalah afirmasi terhadap doa yang kita panjatkan kalau berdoa harus yakin dikabulkan tidak ada alasan lain untuk tidak yakin selain dikabulkan. Sebab Allah akan mengabulkan apa yang kita yakini dari pada apa yang kita baca dalam doa kita.
3. Tahap Komunikasi
Setelah sadar akan kelemahan dan penyakit yang dialami, dan sadar akan kebesaran Allah maka selanjutnya adalah berkomunikasi dengan Allah sebagai bagian penting dari proses terapi. Tahap komunikasi ini dapat berbentuk
1. Pengungkapan pengakuan segala kesalahan dan dosa, ini merupakan langkah awal sebab dengan hati yang bersih kontak dengan Allah akan lebih jernih.
2. Pengungkapan kegundahan hati dan kegilasahan yang dialami, tahap ini dapat berefek katarsis yaitu memberikan segala permasalahan keluar diri, dalam kontek ini kita memberikan segala kegalauan hati kepada Allah. Selain itu dengan pengungkapan ini kita akan menumbuhkan rasa dekat kepada Allah. Tahap ini juga merupakan curhat seperti seorang anak dengan ibunya, begitu dekat dan tidak ada yang ditutupi, jujur kepada Allah dari apa yang dirasakan apa yang dipikirkan apa yang menjadi kekhawatiran. Tahap ini jika dilakukan dengan benar sudah merupakan terapi terhadap jiwa, seperti halnya seorang klien yang mencurahkan segala unek uneknya kemudian didengar oleh psikolognya dengan penuh penerimaan, dengan penuh kasih sayangnya.
3. Permohonan doa kesembuhan terhadap apa yang dialami. Permohonan doa bukanlah perminataan yang memaksa Allah untuk mengabulkan. Untuk itu doa yang dipanjatkan harus disertai dengan kerendahan hati, dengan segenap sikap butuh kepada Allah. Posisi hamba yang berdoa adalah meminta dia tidak berhak untuk memaksa, hamba tadi hanya diberi wewenang untuk meyakini bahwa doanya dikabulkan bukan memaksa allah untuk mengabulkan.
4. Tahap menunggu diam namun hati tetap mengadakan permohonan kepada Allah
Doa merupakan bentuk komunikasi antara yang meminta dan yang memberi. Ketika proses permintaan sudah disampaikan maka proses pemberian (dijawabnya doa) harus ditunggu karena pemberian atau dijawabnya bersifat langsung. Syarat untuk dapat menerima jawaban ini adalah dengan sikap rendah diri, terbuka, dan tenang (tidak tergesa gesa). Sikap ini akan dapat menangkap kalam Allah (jawaban doa) yang tidak berbentuk ucapan tidak berbentuk huruf tapi berbentuk pemahaman pencerahan, ilham (enlightment), atau berbentuk perubahan perubahan emosi dari tidak tenang menjadi tenang, dari sedih menjadi hilang kesedihannya.
Tahap ini merupakan tahap respon yang diberikan oleh Allah kepada kita sebagai jawaban doa yang kita panjatkan. Tahap ini juga disertai dengan sikap pasrah total kepada Allah mengikuti apa maunya Allah dan apa kehendak Allah, sikap ini akan dapat menangkap jawaban Allah.

Instruksi ringkas untuk proses terapi
1. Tumbuhkan niat dalam diri untuk minta disembuhkan Allah
2. Rilekskan tubuh, kendorkan dari mulai kaki hingga kepala, jangan ada ketegangan otot
3. Sadari keluhan yang dirasakan, amati keluhan itu, ikuti dengan kesadaran bahwa kita lemah, tidak berdaya dan tidak memiliki kemampuan apa apa.
4. Sadari kebesaran Allah, lihat alam semesta, bagaimana Allah menggerakkan alam ini, menghidupkan alam ini, Dia Allah yang memberi hidup dan memberi mati, dia yang memberi sembuh dan memberi sakit.
5. Ungkapkan seluruh keluhan yang dirasakan kepada Allah
6. Mintakan kesembuhan kepada Allah
7. Tetap relaks dan masih pada posisi memohon kepada Allah
8. Pasrah kepada Allah sertai dengan keyakinan bahwa Allah menjawab doa yang dipanjatkan.
9. (menunggu jawaban doa, diam namun tetap ingat memohon kepada Allah)
Metode ini merupakan pengalaman penulis dalam melakukan terapi melalui doa baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun pada orang lain, dari orang yang merasakan terapi ini perubahan-perubahan yang terjadi langsung bisa dirasakan. Namun metode ini secara empiris belum pernah diadakan suatu eksperimen yang terstruktur sehingga metode ini kurang dapat dipertahankan secara ilmiah. Dengan adanya diskusi ini penulis mengharapkan adanya kerjasama untuk mengembangkan terapi doa ini karena caranya yang praktis, hasilnya cukup dapat dirasakan dan tidak mengandung kesyirikan karena doa yang kita penjatkan langsung ke Allah.

Daftar Pustaka


Al-Jamal.2003. Penyembuhan dengan Dzikir dan Doa. (terjemahan) cendekia Sentra Muslim : Jakarta

Ariyanto D. 2006. Psikoterapi dengan Doa. Jurnal Suhuf vol XVIII no 1

Dossey, MD. 1997. Healing Word, Kata-kata yang Menyembuhkan Kekauatan Doa dan Penyembuhan Gramedia : Jakarta

Hawari, D. 1997. Al-Quran Ilmu Kedokteran jiwa dan Kesehatan Jiwa Dana Bakti Primayasa : Jakarta

_________1998. Doa dan Dzikir sebagai Pelengkap Terapi Medis. Dana Bhakti Primayasa : Jakarta

_________2002. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri. Fakultas Kedokteran UI : Jakarta

Ngemron M, Thoyibi. 1996. Psikologi Islam. Surakarta Muhammadiyah University : Surakarta

Subandi (ed) 2002 Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan Kontemporer. Unit Publikasi Fakultas Psikologi UGM : Yogyakarta

Sholeh M.2005. Agama Sebagai Terapi Telaah Manuju Kedokteran Holistik. Pustaka Pelajar : Yogysakarta

Zakiah D. 1992. Doa Menunjang Semangat Hidup. Yayasan Pendidikan Islam Ruhama : Jakarta

makalah seminar hipnoterapi 26 feb 07

PENGANTAR
Ilmu hipnotis modern dikenal sejak abad 18, Tokoh utamanya adalah Franz Anton Mesmer, dan disusul oleh James Braid, Charcot, Liebault, Bemheim, Sigmund Freud, Clark Haul, dan seterusnya. Di sisi lain, mungkin penggunaan hipnotis bisa jadi bermanfaat di dalam bidang kedokteran, psikiatri, atau psikologi. Dunia kedokteran mencatat bahwa dokter yang pertama kali menggunakan metode hipnotis secara medis adalah Frans Anton Mesmer pada tahun 1778 di Paris, Prancis. Contoh ide lain pemanfaatan hipnotis dalam bidang kedokteran adalah saat seorang wanita yang akan melahirkan, dihipnotis terlebih dulu agar tidak merasakan kesakitan. Pada tahun 1880-an pun, seorang ahli neurologi Prancis bernama Jean Martin Charcot, menggunakan hipnotis untuk menyingkirkan gejala histeria pasiennya. Dalam bidang psikologi hipnotis dapat digunakan sebagai sebuah metode terapi yang dikenal dengan hipnoterapi, seperti untuk menghilangkan phobia, melupakan sebuah kejadian traumatis dan menghilangkan kebiasaan yang tidak diinginkan seperti merokok, narkoba.
Keadan hipnotis atau trans hipnotis dapat dialami secara tidak disadari. Sebagai contoh seseorang pernah berada dalam suatu keadaan aram temaram ketika mau memasuki tidur, atau pada waktu melamun secara tidak sadar terbawa oleh alam lamunan dan ketika ada yang memanggil berkali-kali tidak kedengaran. Trans hipnotis juga dapat terjadi pada saat seorang mengendari mobil di jalan tol yang monoton dan panjang, dengan didukung senandung motor mesin yang monoton, tidak adanya gangguan disekitar, penglihatan yang mengarah pada garis putih panjang yang tidak putus-putus dijalan sebagai sebuah titik fiksasi visual, kondisi mengendarai mobil seperti ini merupakan kondisi yang dapat memicu seseorang untuk masuk dalam keadaan trans hipnotis. Pada saat trans hipnotis tersebut tidak menyadari tanda-tanda lalulintas atau bangunan yang dilewati, atau melewati banyak bangunan tanpa melihatnya
Dengan bukti di atas, hipnotis merupakan fenomena yang sangat normal. Penyelidikan ilmiah atas hipnotisme menunjukkan bahwa induksi trans jelas merupakan suatu proses yang penting dalam menangkap kembali keadaan dan suasana hati yang mengarah pada periode aram temaram ketika akan tertidur, keadaan melamun dan hipnotis jalan raya (chambers, 2005).
Fenomena penipuan melalui gendam bukanlah suatu hipnotis yang dikenalkan dalam kajian psikologi modern, gendam merupakan salah satu atau gabungan dari : Conventional Hypnosis dengan metode Shock Induction, Ericksonian Hypnosis, teknik Esoteric Energy, atau Mind Control (Telepathic, Magnetism). Dalam kajian psikologi modern hipnotis dipergunakan untuk pengobatan dan metode induksinya pun lebih menekankan pada teknik komunikasi dari pada suatu bentuk peyaluran energi atau tenang dalam.
KESADARAN DALAM HIPNOTIS
Manusia dikarunia Allah ta’ala dua pikiran yaitu pikiran sadar atau rasional dan pikiran bawah sadar atau irrasional. Seseorang yang berpikir terus menerus tentang suatu hal di pikiran sadar lama-lama akan tersimpan dalam alam bawah sadar. Pikiran bawah sadar adalah tempat emosi dan pikiran yang mencipta, jika seseorang menanamkan pikiran positif dalam dirinya maka akan menuai hasil yang positif, namun kalau negatif maka akan menuai hasil yang negatif. Serta sifat pikiran bawah sadar adalah dia tidak pernah memilih milih, dan tidak pernah menolak apa yang ditanamkan, sekali dia menerima maka hal itu akan diwujudkan.
Pikiran sadar manusia adalah gerbang dari pikiran bawah sadarnya. Sebelum sesuatu masuk dalam alam bawah sadar maka terlebih dahulu melalui seleksi alam sadarnya. Maka alam sadar inilah yang sering berpikir dan menentukan mana yang dapat masuk ke alam bawah sadar mana yang tidak boleh. Seandainya tidak ada pikiran sadar maka akan sangat bahaya bagi manusia itu karena apa yang masuk dalam pikirannya lepas kontrol dan masuk pikiran bawah sadar.
Hipnotis pada prinsipnya adalah membuka gerbang dengan mengistirahatkan pikiran sadarnya sehingga sugesti-sugesti yang diberikan tidak diolah pikiran sadar. Dengan terbukanya gerbang kesadaran ini berarti seseorang akan mudah sekali dipengaruhi dan diperintahkan sesuai dengan apa yang dimasukkan dalam alam bawah sadarnya.
Ketika seseorang berada dalam keadaan terhipnotis dia bukannya tidak sadar, dia tetap sadar namun kesadarannya berada dalam kondisi bawah sadar. Kalau seseorang dalam kondisi tidak sadar keadaannya seperti tidur, pingsan, atau koma, namun kalau kondisi alam bawah sadar (berarti masih sadar) seseorang akan mengalami keadaan aram temaram, remang-remang, suasana sadar tapi tidak mampu lagi untuk mengolah pikiran secara lebih detil, menerima saja yang lewat tidak mempedulikan dia harus memilih apa.
Pegistirahatan pikiran sadar dapat dilakukan dengan menghentikan sejenak anggota tubuh yang dikendalikan oleh pikiran sadar, seperti tangan, kaki, badan dan sebagainya. Hal ini dapat dihantarkan melalui konsentrasi ataupun relaksasi. Setelah tercapai kondisi relaks dan tenang seseorang tersebut akan merasakan dirinya sebagai diri mental, pada tahap ini dengan fasilitasi dari seorang penghipnotis maka dia diajak kerja sama untuk memasuki dunia alam bawah sadarnya, namun sekali lagi ketika dia sudah masuk ke alam bawah sadarnya dia tidak lagi mampu untuk berpikir ataupun menolak apa yang disugestikan.
Dari dinamika hipnotis seperti ini maka sebenarnya seseorang dapat melakukan self hypnosis sehingga apa-apa yang menjadi keinginannya dapat ditanamkan yang nantinya akan dimanifestasikan oleh alam bawah sadarnya. Kekuatan bawah sadar tidak terbatas kekuatannya dapat dimanfaatkan untuk penyembuhan, pengoptimalan potensi diri, dan keperluan mempengaruhi pikiran sadar orang lain.
TAHAP TAHAP HIPNOTIS
Sebenarnya, pertunjukan ‘hipnotis’ seperti yang dilakukan oleh Tommy Rafael ataupun oleh para illusionis lainnya, tak lepas dari pengembangan maupun penerapan prinsip-prinsip dasar ilmu psikologi. Upaya ‘hipnotis’ tersebut merupakan tindakan manipulatif terhadap kesadaran realitas ‘obyek’ hipnotis. Dibutuhkan lebih dari sekedar kekuatan mental saja untuk dapat memahami trick para illusionis itu, karena pada saat hipnotis dilakukan maka pada saat itu pula telah terjadi sinkronisasi antara psikis dengan fisik yang bersimulakrum. Seperti yang telah diteliti oleh Carl Jung – salah satu peletak dasar-dasar psikologi modern – bahwa sinkronitas tersebut akan menghasilkan suatu interaksi yang terjadi dalam kesadaran dan digerakkan oleh satu rencana besar yang tak terlihat dari subyek hipnotis.
Secara sederhana, dengan memiliki dasar ilmu hipnotis seorang Hypnotist dapat membuat seseorang (Subjek) sangat relaks dan tenang. Bahkan pada orang-orang tertentu dan dalam situasi tertentu, seorang Hypnotist dapat membuat Subjek sangat tenang secara ekstrim, sehingga masuk ke suatu tahapan yang dikenal sebagai kondisi "Hypnotic" atau "Tertidur Hypnosis" atau “trans hipnosis”.
Pada saat Subjek sudah dalam kondisi sangat rileks, atau dalam kondisi "Hypnos", maka Hypnotist dapat memberikan sugesti-sugesti yang relatif lebih mudah diterima oleh Subjek dibandingkan dalam kondisi biasa.
Untuk memberikan sugesti seorang penghipnotis harus memiliki kekuatan mental seperti percaya diri, kemampuany mensugesti dengan meyakinkan,
Keberhasilan praktik hipnotis adalah ketika subjek sudah berada pada situasi deep trance. Namun, untuk mencapat tingkat ini, ada faktor yang mempengaruhinya. Yakni, kondisi psikologis (Kejiwaan) subjek, tingkat keaktifan berpikir subjek, suasana dan kondisi lingkungan, ketrampilan seorang hypnotist, waktu, serta tingkat kepercayaan subjek terhadap seorang hypnotist.
a. Tahap pre-induction
Pre-Induction (pra-induksi) merupakan suatu proses untuk mempersiapkan suatu situasi dan kondisi yang bersifat kondusif antara seorang penghipnosis dan Subjek. Agar proses Pre-Induction berlangsung dengan baik, maka sebelumnya Hypnotist harus dapat mengenali aspek-aspek psikologis dari Subjek, antara lain : hal yang diminati, hal yang tidak diminati, apa yang diketahui Subjek terhadap Hypnosis, dan seterusnya.
Pre-Induction dapat berupa percakapan ringan, saling berkenalan, serta hal-hal lain yang bersifat mendekatkan seorang Hypnotist secara mental terhadap seorang Subjek. Pre-Induction merupakan tahapan yang bersifat kritis. Seringkali kegagalan proses hipnotis diawali dari proses Pre-Induction yang tidak tepat.
Tahap ini juga untuk menguji apakah klien cocok diterapi dengan menggunakan hipnotis atau tidak, klien mudah dihipnotis atau tidak sebab hipnotis membutuhkan keadaan psikis tertentu dimana klien harus mau bekerja sama dengan suka rela untuk mengikuti instruksi hipnotis yang diberikan.
b. Tahap induction
Langkah berikutnya adalah Induction (induksi). Merupakan kunci utama dalam proses hipnotis, karena proses inilah yang akan membawa Subjek dari kondisi "Beta" ke kondisi "Alpha" bahkan "Theta" dengan kondisi sepenuhnya di bawah kendali seorang Hypnotist.
Bagian utama dari induction adalah "kalimat kunci" dari seorang Hypnotist, ketika memerintahkan seorang Subjek untuk tidur "Hypnotic", di mana selanjutnya Hypnotist akan mengambil alih kendali atas Sub-Conscious Subjek.
Secara utuh, proses induction terdiri dari 3 bagian, yaitu: Relaxation, adalah proses untuk mengurangi keaktifan BrainWave Subjek (High Beta to Low Beta). Induction, adalah Proses untuk membawa Subjek ke Brainwave Alpha, untuk selanjutnya siap di-sugesti dengan "kalimat kunci". Deepining adalah proses untuk membawa Subjek ke "Trance Level" yang lebih dalam (Theta).
c. Pengujian trans hipnotis
Proses Dept Level Test. Seringkali diistilahkan dengan "Trance Level Test" atau pengujian tingkat kedalaman "Hypnotic" seorang Subjek.Bagi seorang Stage hypnotist, perlu memperoleh seorang Subjek dengan tingkat kedalaman "Trance" tertentu. Minimal : Medium Trance. Bagi seorang Hypnotherapist, tingkat kedalaman "Trance" akan berkaitan dengan efektivitas pengaruh Sugesti Therapi yang akan diberikan kepada Subjek.
Depth Level Test dilakukan dengan cara memberikan perintah sederhana yang berlawanan dengan logika kesadaran biasa (Conscious). Jika tingkat kedalaman "Trance" yang dimaksud belum dicapai, maka Hypnotist harus melakukan "induction" kembali. Seringkali diikuti dengan segesti yang bersifat "provokatif". Tidak setiap orang dapat mencapai tingkat "Trance" yang dalam. Hal ini tidak menjadi masalah dalam Hypnotherapy.
d. Suggestion
Suggestion atau Sugesti. Merupakan tahapan inti dari maksud dan tujuan proses hipnotis. Pada tahapan ini seorang Hypnotist mulai dapat memasukkan kalimat-kalimat sugesti ke Sub-Conscious Subjek.
e. Post Hypnotic suggestion
Setelah itu, kita menuju tahapan Post Hypnotic Suggestion. Yakni, suatu Sugesti yang tetap "bekerja" walaupun seorang telah berada dalam kondisi pasca-hipnotis (normal). Post Hypnotic Suggestion merupakan hal penting yang mendasari proses Clinical Hypnotherapy.
Apabila hypnotist ingin mengendalikan Subjek, ia bisa menggunakan simbol bunyi atau tindakan. Inilah yang disebut Anchor. Yakni sugesti berupa simbol-simbol yang akan menghasilkan reaksi pemikiran, emosional, atau perilaku tertentu disebut juga dengan "Anchor". Inilah yang sering dipraktikan Romy Rafael di televisi atau dikenal dengan istilah anchoring, yang merupakan proses "Programming" seorang Hypnotist terhadap Subjek. Misalnya, mulai saat ini, jika kamu melihat Warung Tegal, maka kamu tidak dapat menahan keinginan kamu untuk mentraktir saya!
e. Termination
Termination, yakni suatu tahapan untuk mengakhiri proses hipnotis. Konsep Termination adalah agar seorang Subjek tidak mengalami kejutan psikologis ketika terbangun dari "tidur hipnotis".
Standar dari proses Termination adalah membangun sugesti positif yang akan membuat tubuh seorang Subjek lebih segar dan relaks, kemudian diikuti dengan regresi beberapa detik untuk membawa Subjek ke kondisi normal kembali.

Daftar pustaka
Chamber, Bradford. 2005. How to hypnotize. Stravon Publisher : New York
Murphy, Joseph. 1997. The power of Your Subconscious Mind (terjemahan) spektrum : Jakarta