Tuesday, September 18, 2007

Sejarah Psikologi Islami

Dimulai pada tahun 1978 dengan berlangsungnya simposium internasional tentang Psikologi dan Islam. Disusul dengan terbitnya sebuah buku kecil karya Malik. B. Badri yaitu The Dilemma of Muslim Psychologist.

Fase-fase perkembangan Psikologi Islami
1. Terpesona
Perasaan kagum terhadap teori psikologi modern
2. Kritik
Kritik besar-besaran terhadap psikologi modern
3. Perumusan
Membuat konsep psikologi yang berwawasan Islam
4. Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengkaji fenomena keberagamaan dalam Islam dengan metode penelitian yang dilakukan oleh psikologi modern
5. Penerapan
Hasil penelitian yang dilakukan dipergunakan untuk kemajuan umat Islam

Bentuk pengkajian yang dilakukan dalam Psikologi Islami
1. Psikologi menjelaskan Islam
Ilmu psikologi dilakukan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada dunia Islam baik sosial, maupun spiritual. Namun menemui kendala karena tidak setiap fenomena yang muncul bisa dikupas dengan ilmu Psikologi.
2. Perbandingan psikologi dan Islam
Membandngkan antara teori Psikologi dengan konsep Islam tentang manusia
3. Penilaian Islam terhadap Psikologi
Menggunakan sudut pandang Islam terhadap konsep psikologi modern, hal ini dilakuakn dengan alasan bahwa Islam adalah sumber pedoman dan tata nilai kehidupan manusia.

Upaya merumuskan Psikologi Berdasarkan pandangan dunia Islam
a. Memahami psikologi secara
· Kauniyah : Melihat kejadian alam
· Kauliyah : Melihat Dalil Al-Quran dan Hadits
b. Melakukan objektifikasi yaitu mengubah pandangan yang normatif menjadi pandangan yang objektif atau bisa diukur
c. Pola-pola dalam perumusan Psikologi Islam
Bertitik tolak pada Al-Quran dan Hadits, menggunakannya sebagai rujukan. Cara:
a. Memahami istilah tematik yang ada dalam Al-Quran dan Hadits
b. Memahami secara keseluruhan tentang manusia menurut pandangan Al-Qur’an dan Hadits
Perumusan dari khasanah Islam tentang manusia
Mengacu konsep-konsep yg terdapat pada ilmu-ilmu Keislaman yang dikembangkan juga dari Al-Quran dan hadits
Mengambil inspirasi dari hazanah Psikologi modern dan membahasnya dengan pandangan Islam
Mengambil teori psikologi modern sebagai inspirasi untuk mengkaji persoalan yang sama dalam konsep Islam
Merumuskan konsep manusia berdasarkan pribadi yang melaksanakan ajaran Islam
Metode yang dipakai adalah dengan menggambarkan dan menggambarkan pribadi yang menjalani kehidupan secara Islami

HAKEKAT PSIKOLOGI ISLAM

Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian. Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Pengertian pertama lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Psikolog di sini berperan untuk merumuskan hakekat jiwa yang proses penggaliannya didasarkan atas pendekatan spekulatif. Kelebihan pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakekat psikologi yang sesungguhnya, sebab ia dapat mengungkap hakekat jiwa yang menjadi objek utama kajian psikologi. Kelemahannya adalah bahwa pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris. Psikologi seakan-akan masih menjadi bagian dari disiplin filsafat, yang salah satu kajiannya membahas hakekat jiwa.
Pengertian kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga fokus kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Namun pemisahan ini belum sempurna, sehingga antara disiplin filsafat dengan psikologi masih berbaur. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam wacana Psikologi Kontemporer adalah pengertian ketiga, karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini, fokus kajian psikologi tidak lagi hakekat jiwa, melainkaan gejala-gejala jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakekat jiwa tersebut tidak dapat diketahui, sehingga psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagi psikolog tertentu, khususnya dari kalangan Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan membicarakan hakekat jiwa. Mereka bahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia dengan jiwa binatang. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.
Pengertian psikologi yang dimaksud dalam buku ini lebih cenderung pada pengertian pertama. Ada beberapa alasan mengapa pengertian pertama yang dipilih: Pertama, Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang mandiri baru memasuki proses awal. Pendekatan yang digunakan lebih mengarah pada pendekatan spekulatif, yang membicarakan hakekat mental dan kehidupannya. Sumber data yang digunakan berasal dari proses deduktif, yang digali dari nash (al-Qur`an dan al-Sunnah) dan hasil pemikiran para filosof atau sufi abad klasik, dan belum memasuki wilayah empiris-eksperimental; Kedua, Psikologi Kontemporer Barat dalam perkembangannya mengalami distorsi yang fundamental. Psikologi seharusnya membicarakan tentang konsep jiwa, namun justru ia mengabaikan bahkan tidak tahu-menahu tentang hakekat jiwa, sehingga ia mempelajari “ilmu jiwa tanpa konsep jiwa.” Ketiga, karena alasan ke dua di atas, psikologi kontemporer mempelajari manusia yang tidak berjiwa. Atau, menyamakan gejala kejiwaan manusia dengan gejala kejiwaan hewan, sehingga temuan-temuan dari perilaku hewan digunakan untuk memahami perilaku manusia. Atas dasar ketiga alasan di atas, penulis lebih cenderung menggunakan pengertian pertama. Pemilihan ini tidak berarti menafikan keberadaan pengertian psikologi yang lain, tetapi penulis berharap agar ada perimbangan atau bandingan dalam memilih model pengembangan disiplin psikologi. Untuk beberapa tahun mendatang, barangkali Psikologi Islam dapat mengembangkan pengertian yang ketiga, setelah kerangka konseptualnya telah mapan dan diakui secara objektif dalam perbendaharaan Psikologi Kontemporer.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Istilah ‘Ilm al-Nafs banyak dipakai dalam literatur Psikologi Islam. Bahkan Sukanto Mulyomartono lebih khusus menyebutnya dengan “Nafsiologi.” Penggunaan istilah ini disebabakan objek kajian psikologi Islam adalah al-nafs, yaitu aspek psikopisik pada diri manusia. Term al-nafs tidak dapat disamakan dengan term soul atau psyche dalam psikologi kontemporer Barat, sebab al-nafs merupakan gabungan antara substansi jasmani dan substansi ruhani, sedangkan soul atau psyche hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia. Menurut kelompok ini, penggunaan term al-nafs dalam tataran ilmiah tidak bertentangan dengan doktrin ajaran Islam, sebab tidak ada satupun nash yang melarang untuk membahasnya. Tentunya hal itu berbeda dengan penggunaan istilah al-ruh yang secara jelas dilarang mempertanyakannya (perhatikan Q.S. al-Isra` ayat 85).
Penggunaan istilah ‘Ilm al-Ruh ditemukan dalam karya ‘psikolog’ Zuardin Azzaino. Istilah itu kemudian dijadikan dasar untuk membangun ‘Psikologi Ilahiah’, yaitu psikologi yang dibangun dari kerangka konseptual al-ruh yang berasal dari Tuhan. Boleh jadi Azzaino tidak mengikuti perkembangan literatur Psikologi Islam, sebab literatur yang digunakan dalam bukunya tidak satupun yang bersumber dari ’Ilm al-Nafs fi al-Islam (Psikologi Islam). Tetapi yang menarik dari tawaran Azzaino tersebut adalah bahwa ruh yang menjadi objek kajian psikologi Islam memiliki ciri unik, yang tidak akan ditemukan dalam Psikologi Kontemporer Barat. Objek kajian Psikologi Islam adalah ruh yang memiliki dimensi ilahiah (teosentris), sedangkan objek kajian Psikologi Kontemporer Barat berdimensi insaniah (antroposentris). Karena perbedaan yang mendasar inilah maka Azzaino terpaksa menggunakan term khusus untuk menentukan ciri unik Psikologi Islam.
Menanggapi kedua polemik ini, penulis lebih cenderung menggunakan istilah ‘Ilm al-Nafs. Selain istilah itu lebih populer dan masuk dalam perbendaharaan literatur psikologi, secara ideologis pembahasan objek al-nafs tidak bertentangan dengan nash. Hanya saja yang patut dipertimbangkan adalah kritikan Malik B. Badri bahwa Psikologi Islam kini nyaris masuk dalam liang Biawak, yang sulit keluar darinya. Kritikan itu nampaknya dapat ‘ditangkap’ dengan cermat oleh Azzaino, sehingga ia mencoba mencari alternatif peristilahan baru. Dengan demikian, kebolehan menggunakan istilah ‘Ilm al-Nafs dengan catatan tidak menyalahi kerangka filosofis Psikologi Islam.
Hakekat psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: “kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Hakekat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok; Pertama, bahwa psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam, Kebudayaan Islam, dan sebagaianya. Penempatan kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memilili pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Tentunya hal itu tidak terlepas dari kerangka ontologi (hakekat jiwa), epistimologi (bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam. Melalui kerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti Psikopatologi Islam, Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi Sosial Islam, dan sebagainya.
Kedua, bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh, al-nafs, al-kalb, al-`aql, al-dhamir, al-lubb, al-fu’ad, al-sirr, al-fithrah, dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui al-Qur’an, al-Sunnah, serta dari khazanah pemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apa hakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar)-nya. Dari sini nampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasan tersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah Swt.
Ketiga, bahwa Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakan demikian sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan perilaku maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuasa ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan hidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan diri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasiangan, kegersangan, dan kegelisahan.
Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang objektif, bahkan boleh dikatakan telah mencapai derajat supra ilmiah. Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf pseudo-ilmiah adalah tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah. Objektifitas suatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kreterianya bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif. Psikologi Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri. Demikian juga Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jika orang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, serta mengklaim keabsahan dan objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yang sama, yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam.
Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanya berijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktek kedokteran dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak di an¬tara metode dan teknik yang dikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah normatif yang sudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan psikologi kepribadan dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan dis¬kursus-diskursus lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa Psikologi Kontemporer Barat pada mulanya tidak mengikuti aturan-aturan ilmiah yang berlaku di dunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka teruji secara empirik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, maka pemikiran mereka diakui sebagai disiplin yang objektif.
Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah membukan jendela untuk ‘mengintip’ wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam. Mereka sadar bahwa Psikologi Barat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomena kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang. Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalu mereka masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulis satu bab khusus untuk ‘Psikologi Timur’. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya dari psikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawwuf merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk), proses penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.
Frank. J. Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj. Cecilia G. Samekto, judul asli, “Dictionary of Key in Psychology”,(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237Misalnya yang terjadi pada aliran Behaviorisme John Dol¬lard, Neal E. Miller, B.F. Skinner dari Psiko-operan yang tidak begitu tertarik dengan persoalan struktur kejiwaan manusia yang menetap dan relatif stabil. Mereka lebih berminat mempelajari kebia¬saan-kebiasaan yang dapat mengakibatkan respons-respons ter¬tentu yang pada gilirannya membangkitkan stimulus-stimulus yang memiliki sifat pendorong. Atau berminat pada tingkah laku yang dapat diubah. Lihat!, Calvin Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Sifat dan Psikobehavioristik, diterjmahkan oleh Yustinus, judul asli; “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 320-221,326Lihat! “Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi” (1986) karya Sukanto Mulyomartono, kemudian disempurnakan bersama A. Dardiri Hasyim dengan judul “Nafsiologi; Sebuah Kajian Analitik” (1995); (2) “Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islâmiy” (1979) karya Hasan Muhammad al-Syarqawiy; (3) “‘Ilm al-Nafs al-Ma’âshir fi Dhaw’i al-Islâm” (1983) karya Muhammad Mahmud Mahmud; (4) “’Ilm al-Nafs al-Islamiy” (1989) karya Ma’ruf Zarif; dan (5) “al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs” (1982) karya Muhammad Usman Najati.Asas-asas Psikologi Ilahiah; Sistema Mekanisme Hubungan antara Roh dan Jasad (1990)” karya H.S. Zuardin Azzaino.Maksud keunikan di sini terutama menyangkut masalah-masalah yang mendasar (kerangka filosofis) dan bukan masalah-masalah teknis-operasional. Psikologi Islam tidak akan mentolerir masalah-masalah yang fundamenatal, sebab jika hal itu diabaikan maka mengakibatkan pengkaburan antara hakekat Psikologi Islam dengan Psikologi Kontemporer Barat. Sedangkan masalah-masalah teknik-operasional, Islam tidak banyak menyinggungnya, sehingga tidak ada salahnya jika mengadopsi dari yang lain. Misalnya dalam pembagian struktur manusia, Islam tidak menerima teori Sigmund Freud yang membagi struktur jiwa manusia dengan id, ego, dan super ego. Pembagian ini menafikan alam supra sadar, sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agama dinyatakan sebagai delusi atau ilusi. Islam mempercayai adanya struktur al-ruh yang berdimensi ilahiyah dan bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama merupakan bentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia. Demikian juga masalah mimpi. Freud dan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi hanyalah produk psikis, sedangkan dalam Islam, mimpi boleh jadi berasal dari produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dari Tuhan dan syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti ia tidak mempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima oleh Nabi melalui mimpi. Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik analisis untuk keperluan terapi, maka tidak ada salahnya jika hal itu diadopsi dari teori Freud atau psikolog yang lain.Penjelasan masing-masing term tersebut dapat dilihat dalam pembahasan struktur dan dinamikanya.Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), terj. Yustinus, judul asli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 20-21Di antaranya: (1) Shafii, Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and Psychotherapy, (1985); (2) Hoesen Nasr (ed.), Islamic Spirituality: Foundation, (1989); dan (3) Ronald Alan Nicholson, Fi al-Tashawwuf al-Islami wa Tarihihi, terj. Abu al-‘ala al-Afifi (1969). alvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), terj. Yustinus, judul asli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 222

Wednesday, September 5, 2007

KONSEP KONSELING BERDASARKAN AYAT-AYAT AL QUR’AN TENTANG HAKIKAT MANUSIA, PRIBADI SEHAT, DAN PRIBADI TIDAK SEHAT

Oleh: Abdul Hayat

ABSTRAK

Kajian ini adalah untuk menemukan konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, yaitu tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat. Bentuk kajian ini adalah kajian pustaka yang bersifat kualitatif. Hasil kajian ini disimpulkan: manusia pada hakikatnya adalah makhluk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah. Pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah.

Kata-kata kunci: Konsep konseling, hakikat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat

A. PENDAHULUAN
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan , keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al Kitab) di kalangan umat Kristiani.
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha mengungkan ayat-ayat tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual dan sistematis.
Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya
Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? (Q.S. Al-Qamar: 40).

Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak memerlukan penafsiran yang rumit, serta kandungannya bisa dikaitkan kepada hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat fakta-fakta hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat filosofis, sehingga isinya mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai aspek realitas kehidupan.

B. METODE
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil penelitian (Pidarta, 1999: 3-4).
Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, menekankan proses, menganalisa data secara induktif, dan rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29).
2. Pendekatan dan Tahap-Tahap Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) yang bersifat penafsiran (hermeneutik). Analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 2001:163). Adapun hermeneutik berarti penafsiran atau menafsirkan, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci, seperti Al Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad (Sumaryono, 1999: 24-28). Jadi, analisis dalam penelitian ini adalah menganalisis data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung relevan dengan konsep konseling, agar dapat diketahui dan dimengerti kandungan konselingnya secara jelas.
Adapun langkah-langkah dalam kajian ini adalahsenagai berikut:
Pertama. Menemukan konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat dari teori-teori pendekatan konseling. Konsep tersebut ditelaah dari teori-teori pendekatan konseling yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan yaitu; psikoanalitik, terapi Adlerian, terapi eksistensial, terapi terpusat pada pribadi, terapi gestalt, analisis transaksional, terapi perilaku, terapi rasional emotif, dan, terapi realita.
Kedua. Mencari dan mengumpulkan data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling. Mencari dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling dengan berpijak pada sifat dan kriteria konsep pokok konseling yang pada langkah pertama.
Ketiga. Menetapkan ayat-ayat Al Qur’an yang relevan dengan konsep pokok konseling, menafsirkan, dan menguraikannya secara konseptual dan sistematis.
Keempat. Melakukan sintesis kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan konsep konseling, yaitu dengan mengungkap, menghubungkan dan menggabungkan secara kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang telah ditetapkan dengan konsep pokok konseling sehingga terlihat dengan jelas relevansinya.
Kelima. Membuat ketetapan akhir dengan menyimpulkan bagaimana konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an secara konseptual dan sistematis.

C. HASIL KAJIAN
1. Hakikat Manusia
Menurut konsep konseling, manusia itu pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu Al Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini meliputi ketiga komponen lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi, dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia sebagai makhluk religius.
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.). Al Hawa adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad: 26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan kalbu sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Terpusat pada Pribadi, Terapi Eksistensial, Terapi Gestalt, Rasional Emotif Terapi, dan Terapi Realita. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang (Al-Baqarah: 164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 ) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir: 38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah: 155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa (Ar-Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan An-Nisa: 78).
c. Sebagai Makhluk Sosial
Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, (2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali, (4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia memilikipotensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim: 6) Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-Hasyr:18), bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (Al-Ankabut: 7, Al-A’raf: 179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk sosial ini pula manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).
d. Sebagai Makhluk Religius
Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-A’raf:172-174). Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah(Adz-Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).
2. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial. Al Qur’an di samping menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang mampu megngatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta serasinya fungsi id, ego dan superego, (2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4) percaya diri, (5) sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan bertanggung jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9) tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62). Mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48 dan Ar-Ra’du: 28). Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan terhadap pengalaman (Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri ini ada pada orang yang istiqamah (konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-Imran: 139). Mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup yang disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran: 29, Ar-Ra’du:11, Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kepribadian shidiq, yaitu sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan, serasi antara sikap dan perilaku (Al-Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab, salah satu bentuk penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-Imran:135), serta adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya (Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32), memiliki sikap tawakkal dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah, dengan kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140, Al-Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri. (An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral, Transaksional, dan Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2) memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang lain, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6). Disamping amal saleh, adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran positif (husnus zhan) baik terhadap diri sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).
Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8), dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah: 275, An-Nisa: 29). Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi melarang orang duduk-duduk dipinggir jalan yang membuat orang yang mau lewat merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan memperhatikan dia bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat berjemaah ketika mendengan salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang menangis.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral. Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat menciptakan atau mengolah lingkungannya secara baik.
Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini adalah untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-Rum: 41). Untuk itu pribadi yang sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-Taubah: 105). Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).

3. Pribadi Tidak Sehat
Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping menerangkan tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam pendekatan Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka terhadap pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6) inkongruen, (7) tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8) kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional, (10) menolak diri sendiri.
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-Haj:46, Al-A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari kekufuran, kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151). Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang bukan golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-Maidah: 104, Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).
Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, yaitu suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112)., dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di dalam hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di satu tempat dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam konseling disebut dengan inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145). Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi dirinya berdasarkan evaluasi eksternal (Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47), kurangnya kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang yang tidak pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan) (Fushilat: 49, Luqman: 34), rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1, Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian, pribadi yang tidak pandai bersyukur terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan Ali-Imran:191, Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2) memandang diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau lebih suka menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181), orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us zhan (berpikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-Hujurat:12).
Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak konstruktif (An-Nur:19, Al-Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis dengan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi takaran dan timbangano dalan berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh, dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278, An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan An-Nisa: 29).
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi Behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al Qur’an mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalaho pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6, Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al Kahfi: 110).
Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).

D. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi nafsu, yaitu al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampaui batas. Al Hawa adalah dorongan yang tidak rasional, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan, nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal, dan nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif.
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling sebagaimana dikemukakan oleh Freud dalam Psikoanalisisnya bahwa manusia memiliki potensi dasar isnting yang dalam pembentukan kepribadian berkedudukan dalam id, yaitu sumber utama energi psikis berupa dorongan seksual (libido), dorongan hidup (eros) dandorongan agresip merusak diri (thanatos), dorongan ini tidak rasional,tidak bermoral, memaksakan kehendak yang berada di luar kesadaran manusia.

b. Sebagai Makhluk Pribadi
Al Qur’an menerangkan bahwa manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang, memiliki kesadaran diri (as-syu’ru), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan serta tanggung jawab. Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf, memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa, memiliki kesadaran (as syu’ru) begitu juga tentang kematian ia akan datang kapan saja dan dimana saja dan tidak diketahui sebelumnya, sebab kematian adalah merupakan urusan Allah semata.
Keterangan tersebut relevan dengan konsep konseling, yaitu manusia ada bersama orang lain oleh karena itu manusia harus memiliki kepribadian yang eksis. Pribadi yang eksis itu menurut konsep konseling adalah pribadi yang memiliki potensi kemampuan berpikir rasional, memiliki kesadaran diri, memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, bertanggung jawab atas arah pilihan yang ditentukan sendiri, merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, dan selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri
c. Sebagai Makhluk Sosial
Manusia memiliki fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok, bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya). Manusia membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi, memiliki hati nurani (kalbu), dan mampu melakukan amal shalih.
Keterangan di atas relevan dengan konsep konseling yang mengungkapkan bahwa manusia ada merupakan bagian dari masyarakat dan dunia sosial, sehingga kita tidak berarti tanpa adanya orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, ia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), keputusan dapat ditinjau kembali apabila keputusan yang telah diambil terdahulu tidak lagi cocok, ia selalu menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan, membuat dan menyumbang, menerima diri sendiri dengan apa adanya, dan memiliki komponen superego, yaitu kode moral dan nilai ideal yang mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah.
d. Sebagai Makhluk Religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada. Namun ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.
2. Pribadi Sehat
Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut keterangan Al Qur’an pribadi sehat dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu, mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan), memiliki kebebasan dan bertanggung jawab, berbuat atas pertimbangan sendiri serta siap bertanggung jawab baik terhadap sesama manusia maupun kepada Allah Swt.. Dismping itu juga pribadi yang memiliki kepribadian shidiq dan amanah, mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (ihsan), serta sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya, memiliki sikap tawakkal, serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri (qana’ah).
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi sehat itu memiliki ciri-ciri pokok: ego berfungsi penuh, serta sesuainya antara id, ego dan superego, bebas dari kecemasan, keterbukaan terhadap pengalaman, memiliki kebebasan dan tanggungjawab, kongruensi, sumber evaluasi internal, kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, serta tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), menerima diri sendiri dan percaya diri.
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong, menerima pengalaman dan bertanggung jawab sekalipun pengalaman itu buruk dan menyakitkan, berpikiran positif (husnus zhan). Di samping itu dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung.
Keterangan ini relevan dengan Berdasarkan keempat teori ini, pribadi yang benar terhadap orang lain adalah pribadi yang mau menyumbang, memberi dan menerima, menerima pengalaman dan bertanggungjawab, memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m ok your are ok), signifikan dan berharga bagi orang lain, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang peduli, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungannya, dan pribadi yang mampu memproduk lingkungan menjadi kondosip bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral yang menegaskan bahwa pribadi yang benar terhadap lingkungan adalah pribadi yang mempu berhubungan baik dengan lingkungan, juga berbuat sesuatu guna mengolah lingkungan menjadi baik, minimal tidak membuat sesuatu yang bisa merusak lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi kehidupan.
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas. Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik.
Keterngan ini tidak dijelaskan dalam konsep konseling.

3. Pribadi Tidak Sehat
Pribadi tidak sehat pada hakikatnya adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral, tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia, ta’ashub yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik, riya yaitu beramal hanya untuk dilihat orang lain, kurang memiliki kesadaran diri dan tidak konstruktif, tidak pandai bertawakkal, rendah diri (ya’uus ) dan putus asa (qunuut).
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur hubungan dengan diri sendiri itu memiliki ciri-ciri kepribadian sebagai berikut: ego tidak berfungsi penuh, tidak serasinya antara id, ego, dan superego, dikuasai kecemasan, tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman atau tidak bertanggung jawab, inkongruen, sumber evaluasi eksternal, kurangnya kesadaran diri, tidak konstruktif, terbelenggu ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), serta rendah diri putus asa.
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan, tidak mau saling menolong (ta’awun), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain, su’us zhan (berfikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah yaitu menggunjing sesama, kufur nikmat, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, gemar melakukan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu perbuatan yang cendrung hanya menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, dan sebagainya.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang egois dan tidak mau menyumbang, memandang diri sendiri baik sedang orang lain jelek (I’m ok your are not ok), berpikiran negatif terhadap orang lain, ketidak mampuan menyesuaikan diri secara psikologis, memenuhi kebutuhan sendiri dengan mengorbankan (merampas) hak orang lain.
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak bisa membangun hubungan baik dengan alam atau kosmos, dan ikut berperilaku yang bisa merusak lingkungan..
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt. yaitu ibadah-ibadah yang diwajibkan kepadanya untuk dilaksanakan, atau tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain. Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik.
Kemudian, pribadi yang tidak sehat terhadap Allah adalah pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut .
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Alah Swt.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting. Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.
d. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an, manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius (At Tin: 4). Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
2. Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini bukan merupakan konsep yang sudah lengkap dan final dan dapat mewakili nilai kandungan ayat-ayat Al Qur’an secara utuh, maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini, baik memperluas atau memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling.


DAFTAR PUSTAKA


Adz-Dzaky, H.B. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.

Ancok, J. & Suroso, F.N. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000.

As Shiddiqy, TM. Tafsir Al Qur’an Al Majied: An Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Bastaman, H.D. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Bishop, D.R. 1992 Religius Values as Cross-Cultural Issues in Counseling. Counseling and Values, (36): 179-191,.

Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. Riset Kualitatif Untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori dan Metode. Terjemahan Munandir. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direkturat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1990.

Brian, J. Zinnbauer and Kenneth I. Pergement. 2000. Working With The Sacred: Four Approaches to Religious and Spiritual Issues in Counseling. Journal of Counseling & Development. (78): 162-170.

Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996.

Cottone, R.R. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1992.

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV / Tahun I, 1984/1985.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990.

Gania, V. 1994. Scular Psychotherapists and Religious Clients: Profesional Consideration and Recommendations. Journal of Counseling and Development. (72): 395-398.

Gilliland, B.E., James, K.R., Bowman,J.T. Theories and Strategie in Counseling and Pasychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1984.

Hall, C.H., Lindzey, G. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, INC., 1970.

Ismail, M. Shahih Al-Bukhari, Juz. 1 – 4. Istambul Turki: Al-Maktabah Al-Islami, 1979.

Kivlighan, Jr, D.M. and Shaughnessy, P. 1995.Analysis of the Development of the Working Alliance Using Hierarchical Linear Modeling. Journal of Counseling Psychology 42: 338–349.

Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 2001.

Munawwir, A.W. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994.

Madjid, N. Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.9-58). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.

Muzhahiri, H. Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani. Terjemahan Ahmad Subandi: PT. Lentera Basritama, 2000.

Mujib, A. & Mudzakir, J.. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Nelson-Jones. Counseling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd., 1995.

Pidarta,M. 1999. Studi tentang Landasan Kependidikan. Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. (26): 3-15.

Rachman, B.M. Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah (Pemikiran Neo-Modernisme Islam Di Indonesia. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.99-141). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.

Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.

HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA (PERSPEKTIF AL-QURAN)

HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA

(PERSPEKTIF PSIKOLOGI KONSELING DAN AL-QUR’AN)

Oleh: Abdul Hayat*

ABSTRAK

Masalah biasanya dartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidaksesuaian, atau ketidak cocokkan antara ide dan kenyataan, antara yang seharusnya dengan fakta yang ada, atau antara keinginan dan harapan dengan realitas yang terjadi.Dalam paparan ini ini mencoba mengenal hakikat masalah tersebut dan bagaimana pendekatannya atau menghadapinya menurut pandangan psikologi konseling dan keterangan Al-Qur’an sehingga masalah itu tidak mengganggu kesetabilan kepribadian kita. Perspektif psikologi konseling (Rational Emotive Therapy), masalah pada hakikatnya bukan terletak pada suatu peristiwa yang terjadi, tetapi justru pada keyakinan yang tidak rasional. Perspektif Al-Qur’an, bahwa masalah itu merupakan cubaan atau ujian dari Allah kepada setiap manusia, baik berupa kesusahan dan keburukan, maupun kebaikan atau kenikmatan.

Kata-kata kunci: Hakikat Masalah, Perspektif Psikologi Konseling, Perspektif Al-Qur’an

A. PENDAHULUAN

Semua manusia yang hidup di dunia pasti bermasalah, sebab hidup sendiri adalah bagian dari masalah, oleh karena itu seyogyanya kita hidup jangan takut dengan masalah tetapi kita mencoba memahami masalah yang ada dan menghadapinya secara rasional dan realistis.

Masalah biasanya dartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidaksesuaian, atau ketidak cocokkan antara ide dan kenyataan, antara yang seharusnya dengan fakta yang ada, atau antara keinginan dan harapan dengan realitas yang terjadi, dengan kata lain terjadinya sesuatu yang tidak dinginkan, seperti dikemukakan oleh Arikunto, yaitu sesuatu yang tidak beres, dalam arti tidak atau belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan bahwa masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan), soal, atau persoalan2. Apapun namanya, umumnya masalah itu terjadi tidak dikehendaki dan bahkan menyakitkan, sehingga bagi sebagian kita yang yang tidak mampu mengenali hakikat masalah dan tidak tahu cara menghadapinya dengan baik maka ia akan mengganggu kesetabilan pribadi, dan terjadilah pribadi bermasalah, malasuai, maladaptif, dan sejenisnya.

Dalam paparan saya kali ini mencoba mengenal hakikat masalah tersebut dan bagaimana pendekatannya atau menghadapinya menurut pandangan psikologi konseling dan keterangan Al-Qur’an sehingga masalah itu tidak mengganggu kesetabilan kepribadian kita.

Judul yang saya kemukakan di atas memang terlalu muluk, saya maksudkan dengan perspektif psikologi konseling disini hanya satu bagian kecil teori pendekatan konseling yang berkembang, begitu juga dengan Al-Qur’an, hanya bagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mampu dikemukakan dengan pemahaman yang sangat minim. Semoga bermanfaat.

B. HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA (PERSPEKTIF

PSIKOLOGI KONSELING)

Ada banyak teori dan pendekatan psikologi yang diterapkan dalam konseling, paling tidak ada sembilan teori yang sekarang ini sangat populer yaitu Psychoanalytic Therapy (Sigmund Freud), Adlerian Therapy, Existential Therapy, Person Centered Therapy (Rogers), Gestalt Therapy, Transactional Analysis, Behavior Therapy, Rational Emotive Therapy, dan Reality.Therapy. Masing-masing teori ini memandang hakikat masalah dalam sisi yang berbeda-beda begitu juga dengan pendekatan yang ditawarkan, namun maksudnya sama yaitu bagaimana agar masalah itu tidak mengganggu keseimbangan peribadi secara berlebihan.Pada sajian kali ini, saya akan mengemukakan secara singkat pandangan teori Rational Emotive Therapy dengan tokoh utamanya Albert Ellis.

1. Hakikat Masalah

Menurut pendekatan ini, manusia itu memiliki tiga potensi pokok, yaitu; (a) potensi berpikir, baik yang rasional atau lurus maupun yang tidak rasional atau bengkok, (b) kecendrungan untuk menjaga kelangsungan keadaan dirinya, keberadaannya, kebahagiaan, kesempatan memikirkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata, mencintai, berkomunikasi dengan orang lain, serta terjadinya pertumbuhan dan aktualisasi diri, (c) memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk merusak diri sendiri, menghindar dari memikirkan sesuatu, menunda-nunda, berulang-ulang melakukan kekeliruan, percaya pada takhayul, tidak memiliki tenggang rasa, menjadi perfeksionis, menyalahkan diri sendiri, dan menghindari adanya aktualisasi potensi pertumbuhan yang dimilikinya3.

Pada hakikatnya bahwa manusia itu tidak sempurna, yaitu memiliki potensi positif dan negatif, maka teori ini berusaha untuk menolong mereka untuk mau menerima dirinya sebagai makhluk yang akan selalu membuat kesalahan namun pada saat yang bersamaan juga bisa belajar hidup damai dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain orang dapat belajar mengubah pikiran mereka sehingga pikiran mereka menjadi positif dan tidak tertekan4.

Masalah atau gangguan emosional berasal dari: (a) kita mempelajari keyakinan yang tidak rasional adalah dari orang lain yang signifikan pada masa kanak-kanak, (b) kita sendirilah yang menciptakan dogma dan takhayul (superstitions) yang tidak rasional itu, kemudian (c) secara aktif kita menamkan kembali keyakinan keliru itu dengan jalan memproses sugesti pada diri sendiri (autosuggestion) dan pengulangan sendiri (self-repetition)5.

Jadi yang menjadikan sikap disfungsional tetap hidup dan beroperasi dalam diri kita adalah karena sebagian besar pengulangan yang kita buat sendiri terhadap pikiran tidak rasional yang diindoktrinasikan kepada kita dulu, bukan pengulangan dari orang tua.

Masalah yang mengganggu kepribadian seperti duka, menyesal, dan frustasi hakikatnya adalah merupakan hasil pemikiran irasional. Kualitas irasionalnya berasal dari tuntutan agar dunia ini seharusnya, seyogyanya, dan harus berbeda.yang bersifat mutlak Jadi masalah itu bukan peristiwa yang terjadi, tetapi pada pemikiran kita tentang hal yang terjadi itu.

Berikut ini adalah beberapa ide tidak rasional yang kita internalisasi dan yang pasti membawa ke penggagalan diri 6

a. Saya harus dicintai atau diterima oleh semua orang penting dalam hidup saya.

b. Saya harus melakukan tugas penting secara kompeten dan sempurna.

c. Oleh karena saya sangat menginginkan agar orang memperlakukan saya dengan penuh pengertian dan jujur, maka mereka mutlak harus berbuat seperti itu.

d. Apabila saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan maka itu merupakan hal yang sangat tidak menyenangkan dan saya tidak tahan.

e. Lebih mudah menghindari kesulitan hidup dan pertanggungan jawab dari pada melakukan suatu bentuk disiplin diri yang menjanjikan keuntungan.

Ellis menggambarkan hakikat masalah ini dengan konsep berikut: Activating event (A), Belief (B) dan Emotional Consequence (C), yang dikenal dengan teori A-B-C.7

Diagram berikut ini akan menjelaskan interaksi dari ketiga komponen tersebut.

A (Activating event) B (belief) C (emotional and behavioral consequence)

A, adalah keberadaannya fakta, suatu peristiwa, atau perilaku atau sikap seorang individu.

B, yaitu keyakinan si pribadi pada (A), pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa.

C adalah konsekuensi emosi dan perilaku ataupun reaksi si individu; reaksi itu bisa cocok, bisa juga tidak.

Peristiwa yang sedang berjalan pada (A) tidak menjadi penyebab pada (C/konsekuensi emosi), melainkan (B/keyakinan si pribadi pada A) yang banyak menjadi penyebabnya. Misalnya, apabila seseorang mengalami depresi setelah bercerai dengan suami/isterinya, mungkin bukan perceraian (A) itu sendiri yang menjadi penyebab reaksi dalam bentuk depresi, tetapi keyakinan si individu (B) bahwa ia gagal, merasa ditolak, atau kehilangan sangan yang menjadi enyebabnya8.

2. Pendekatan yang Dilakukan

Pendekatan yang dilakukan setelah mengetahui hakikat masalah ini adalah melakukan disputing intervention (meragukan /membantah) (D) terhadap keyakinan dan pemikiran yang tidak rasional pada (B) agar berubah kepada keyakinan, pemikiran dan falsafah rasional yang baru (E), sehingga lahir (F) yaitu perangkat perasaan yang baru. Kita tidak lagi merasakan cemas yang sungguh-sungguh atau merasa tertekan, melainkan kita merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada.

Teori ABC dan pendekatannya DEF dari Ellis ini kalau digambarkan dalam bentuk bagan kurang lebih demikian:

A B C

(activating event) (belief) (emotional and behavioral consequence)

D E ) F

(disputing intervention) (effect) (new feeling)

Setelah A, B, dan C maka munculah D,E, dan F.

D, adalah yang meragukan /membantah (disputing intervention). Pada isensinya merupakan aplikasi dari metode ilmiah untuk menolong klien menantang keyakinan irasional mereka. Ellis dan Bernard (1986) melukiskan tiga komponen dari proses meragukan/membantah ini: (1) mendeteksi, (2) memperdebatkan, (3) dan mendiskriminasi.

Pertama, klien belajar caranya mendeteksi keyakinan irasional mereka, terutama kemutlakan seharusnya dan harus, sifat berlebihan, dan pelecehan pada diri-sendiori.

Kedua, klien memperdebatkan keyakinan yang disfungsional itu dengan belajar cara mempertanyakan semuanya itu secara logis dan empiris dan dengan sekuat tenaga mempertanyakannya pada diri sendiri serta berbuat untuk tidak mempercayainya.

Ketiga, klien belajar untuk mendiskriminasi keyakinan yang irasional dan yang rasionil.

E, adalah falsafah efektif, yang memiliki segi praktis. Falsafah rasional yang baru dan efektif terdiri dari menggantikan pikiran yang tidak pada tempatnya dengan yang cocok. Apabila kita berhasil dalam melakukan ini, kita juga menciptakan F.

F, adalah perangkat perasaan yang baru. Kita tidak lagi merasakan cemas yang sungguh-sungguh atau merasa tertekan, melainkan kita merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada. Sebab cara yang paling baik untuk memulai merasa labih baik adalah mengembangkan falsafah yang efektif dan rasionil. Jadi, orang tidak lalu menyalahkan diri sendiri serta menghukum diri sendiri berupa depresi karena terjadinya perceraian, melainkan orang akan mencari kongklusi yang rasionil dan berdasarkan empiri: “Baiklah, saya benar-benar menyayangkan karena perkawinan kita tidak berjalan mulus dan harus bercerai. Meskipun saya ingin kita bisa menyelesaikan berbagai masalah, ternyata kita tidak menyelesaikannya, tetapi dunia tidak akan kiamat karenanya. Oleh karena perkawinan kita gagal tidak lalu berarti bahwa saya orang yang gagal dalam hidup ini, dan amatlah bodoh kalau saya terus-menerus menyalahkan diri saya sendiri dan mengatakan saya yang bertanggung jawab atas perceraian itu”. Menurut teori ini, akibat akhir adalah meminimalkan perasaan depresi dan mengutuk diri sendiri.

Menurut Ellis (1988) secara singkat restrukturisasi filosofis untuk bisa mengubah kepribadian kita yang disfungsional mencakup langkah-langkah berikut: (1) mengakui sepenuhnya bahwa kitalah yang bertanggung jawab atas terciptanya masalah yang kita alami; (2) mau menerima pendapat bahwa kita memiliki kemampuan untuk secara signifikan mengubah gangguan-gangguan ini; (3) mengakui bahwa masalah emosional kita banyak berasal dari keyakinan yang irasional; (4) dengan jelas mengamati keyakinan ini; (5) melihat nilai dari sikap meragukan keyakinan yang bodoh itu, dengan menggunakan metode yang tegas; (6) menerima kenyataan bahwa apabila kita mengharapkan adanya perbaikan kita sebaiknya kerja keras dengan cara emotif behavioral untuk mengadakan kontra aksi terhadap keyakinan kita itu dan perasaan serta perbuatan yang disfungsional yang mengikutinya; dan (7) mempraktekkan metode terapi rasional emotif untuk mencabut atau mengubah konsekuensi yang mengganggu itu di sisa kehidupan kita.

Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki dua kapasitas berikut.

a. Pribadi yang mampu berpikir secara rasional,.sebab apabila kita mampu berpikir secara rasional dalam menghadapi segala pristiwa maka kita tidak akan mengalami tekanan, memusuhi, mengasihani diri 9. Dengan kata lain, dengan penolakan keyakinan-keyakinan irasional yang dilakukan dengan cara berpikir logis-empirik dapat meminimalkan atau bahkan memperbaiki emosi yang malasuai.

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzaky, H.B. 2001. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Al-Gazali, 1989. Ihya ‘Ulumuddin. Beirut: Darul fikri.

Al-Maraghi M., 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. Darul Fikri.

Arikunto.S. 1995 Manajemen Penelitian, Jakarta: PT.Renika Cipta,

Corey, G. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.

Cottone, R.R. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom.

Departemen Agama RI. 1984/1985. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV / Tahun I.

Depdikbud, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Latipun, 2001. Psikologi Konseling. Malang: Universitas Muhammdiyah Malang.

Munawwir, A.W. 1994. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir.

Madjid, N. 1997. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Penerbit Paramadina.

Shihab, M.Q. 1996. Wawasan Al Qur’an. Penerbit Mizan. Khazanah Ilmu-Ilmu Islam.

* Adalah Dosen Fakultas tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin

1 Arikunto.S. Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT.Renika Cipta, 1995) h.28.

2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) h. 562.

3 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.320.

4 Cottone, R.R., Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. (Boston: Allyn and Bacom, 1992) h. 114

5 Corey, Op cit, hal 321

6 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.323.

7 Cottone, R.R., Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. (Boston: Allyn and Bacom, 1992) h. 114

8 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.323.

9 Corey, G., Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. (Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996) h.464.

10 Madjid, N., Kaki Langit Peradaban Islam. (Jakarta: Penerbit Paramadina1997) h.51

11 Al-Maraghi M., Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. Darul Fikri, 1993) h.62.

12 Al-Gazali, Ihya ‘Ulumuddin. Beirut: Darul fikri, 1989) h.122.

13 Shihab, M.Q., Wawasan Al Qur’an. (Penerbit Mizan. Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, 1966). H.562.

14 Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994) h.1532.

15 Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994) h.415

16 Ibid, h. 1148.

17 Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994) h.1147.

18 Ibid, h. 482

19 Al-Maraghi M., Tafsir Al-Maraghi, Juz 4. (Darul Fikri, 1993) h.199.


b. Mau menerima diri kita sendiri meskipun ada ketidak sempurnaan pada diri kita. Jadi apapun adanya yang terjadi pada diri kita, kemampuan kita, kita terima dengan perasaan, sikap dan tindakan yang wajar. Misalnya, menurut teori ini bahwa orang tidak perlu harus diterima dan dicintai, meskipun hal itu merupakan yang sangat diinginkan. Jadi tuntutan harus yang bersifat mutlak itu tidak perlu selalu dikuti dan dipenuhi.

Sedang pribadi yang tidak sehat adalah pribadi yang terbelenggu oleh ide tidak rasional dan suka menyalahkan diri sendiri maupun orang lain. Menurut teori ini bahwa menyalahkan merupakan inti dari sebagian besar gangguan emosional

C. HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA (PERSPEKTIF

AL-QUR’AN).

1. Hakikat Masalah

Menurut beberapa keterangan ayat Al-Qur’an bahwa masalah itu tidak lain adalah sebuah cobaan atau ujian dari Allah Swt. Kepada manusia sebagai hamba-Nya. Semua manusia pasti menghadapi masalah, sebab Allah telah memberikan beberapa ujian atau cobaan kepada hamba-hamba-Nya dengan beberapa hal. Antara lain seperti diterangkan dalam firman Allah berikut.

Firman Allah Swt.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan (kecemasan), kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S.Al-Baqarah;155).

Masalah yang pada hakikatnya adalah cobaan atau ujian dari Allah kepada para manusia (hamba-Nya) yang harus diterima dan diatasi dengan baik dan benar, tidak hanya hal-hal yang menyakitkan atau yang pada umumnya tidak disenangi, tetapi juga bisa berupa cobaan yang baik, sesuatu yang menyenangkan dan dikehendaki umumnya manusia, seperti kekayaan, kedudukan yang tinggi, jabatan yang empuk, dan sebagainya, dan hal seperti inipun hakikatnya juga masalah.

Firman Allah Swt.

ولَنبلونكم بالشر والخير فتنة والينا ترجعون (الانبياء:35)

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan (QS. Al-Anbiya:35).

2. Pendekatan yang Dilakukan

Dalam beberapa isyarat ayat Al-Qur’an bahwa dalam menghadapi masalah yang dihadapi baik masalah itu berupa cobaan yang menyakitkan atau buruk maupun cobaan yang baik, juga dengan berpikir rasional, yaitu dengan memfungsikan akal secara maksimal. Potensi akal yang dimiliki manusia memang mampu mengatasi masalah yang dihadapi apabila ia digunakan atau difungsikan secara baik, bahkan dengan akal pula manusia mampu berkarya dan mengelola alam semesta ini. Keterangan Al Qur’an tentang potensi akal yang dimiliki manusia dalam Al-Qur’an banyak sekali disebutkan, dengan akal inilah manusia mampu hidup berkembang, mengelola diri dan dunianya.

Menurut Taymiyah, kata ‘aql adalah mashdar (kata benda-kerja, verbal noun) dari kata kerja aqala-ya’qulu, yang berarti “menggunakan akal” atau “berpikir”, dan yang dimaksudkan dengan akal ialah pembawaan naluri atau gharizah yang diciptakan Allah dalam diri manusia, yang dengan naluri itu ia berpikir.10

Diantara ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang akal antara lain sebagai berikut.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (Q.S. Al-Baqarah: 164).

Melihat keterangan ayat di atas dapat dikatakan bahwa akal adalah daya pikir yang ada pada manusia yang mampu digunakan untuk mengelola isi alam dengan segala pristiwanya. Al-Maraghi dalam tafsirnya juz 2, menerangkan ayat di atas bahwa pada semua gejala itu terdapat petunjuk bagi orang-orang yang berpikir untuk mengetahui watak dan rahasia-rahasianya. Dengan demikian dapat dibedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan, disamping dapat diketahui betapa teliti dan halusnya kekuasaan Maha Pencipta. Akhirnya akan sampai pada kesimpulan bahwa yang menciptakan semua ini berhak untuk disembah dan ditaati. Dalam hal ini tentunya termasuk segala cobaan dan ujian yang dihadapinya.11

Kesempurnaan alam semesta dengan segala sunnatullah (hukum alam) yang berlaku dan diciptakan Allah untuk kepentingan hidup manusia merupakan lahan yang harus dipikirkan dan diolah oleh manusia dengan kemampuan akalnya untuk kemakmuran manusia sendiri. Firman Allah Swt.

اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkan (Q.S. Al Hadid: 17).

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya (Q.S.Al-Baqarah: 242).

Potensi akal sangat besar artinya bagi kehidupan manusia, sebab dengan akal maka manusia mampu memahami ayat-ayat Allah Swt., baik ayat-ayat Allah yang diciptakan-Nya berupa alam semesta ini (ayat kauniah), maupun ayat-ayat Allah yang difirmankan-Nya berupa kitab-kitab suci yang memuat firman-Nya (ayat qauliah).

Al-Gazali menerangkan, fungsi akal kepada dua hal yaitu: (1) mengetahui hakikat segala sesuatu. Dalam hal ini akal mengibaratkan sifat ilmu yang terletak di hati, (2) yang menangkap dan mendapat segala ilmu. Kekuatan akal yang dimiliki oleh manusia inilah yang bisa membuat manusia mampu menmgatasi masalah atau mengelola dirinya dan alam sebagai lingkungannya12, sebagaimana dikemukakan oleh Syihab, bahwa daya akal memungkinkan manusia memiliki kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan sunnatullah. Karena memiliki akal inilah manusia merupakan makhluk yang berkembang dan berbudaya13.

Aktivitas akal dalam proses berpikir rasional dalam Al Qur’an juga disebut dengan beberapa istilah, yaitu: nazhara, tadabbur, tafakkur, tafaqquh,dan tadzakkur.

Nazhara, secara bahasa berarti melihat, memandang, merenungkan, memikirkan dan mempertimbangkan14, yang dimaksud adalah melihat sambil memikirkan berbagai obyek ciptaan Allah yang nampak terlihat, seperti manusia sendiri, binatang, tumbuh-tumbuhan, gunung, bumi dan langit dan sebagainya. Firman Allah Swt.

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan (Q.S. At-Thariq:5).

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ , وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ, وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ, وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan?, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?, dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (Q.S. Al-Ghasyiah:17-20).

Tadabbur, menurut bahasa berarti memikirkan, mempertimbangkan15, maksudnya adalah memikirkan tentang ayat-ayat Allah yang difirmankannya yaitu isi kandungan Al Qur’an. Firman Allah Swt.

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (Q.S.Shaad:29).

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad:24).

Tafakkur, menurut bahasa artinya memikirkan16, maksudnya adalah memikirkan berbagai pristiwa dan berbagai keunikan ciptaan Allah, sehingga timbul kesadaran akan kebesaran dan keagungan Allah Swt. Firman Allah Swt.

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ. ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan (Q.S. An-Nahl:68-69).

Tafaqquh, artinya mengerti, memahami17, maksudnya memahami perintah dan larangan Allah (Agama) untuk diamalkan dalam kehidupan. Firman Allah Swt.

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan juang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q.S. At-Taubah: 122).

Tadzakkur, artinya mengingat18, maksudnya mengingat kebesaran Allah dalam kaitan dengan berbagai kesempurnaan ciptaan-Nya sambil memikirkan dan mengambil pelajaran. Firman Allah Swt.

أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لَا يَخْلُقُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

Apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak menciptakan (apa-apa)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S. An-Nahl:17).

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Q.S. Adz-Dzariyat:49).

Di samping manusia memiliki akal dan mampu berpikir rasional, tetapi ada juga manusia yang tidak mau menggunakan akalnya secara maksimal, mereka cenderung berpikir tidak rasional, sehingga Allah mengumpamakan orang yang tidak memfungsikan akalnya dengan benar sebagai binatang yang sangat buruk. Firman Allah Swt.

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُون

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun (Q.S. Al-Anfaal: 22).

Pada sisi yang lain ada pula manusia dengan akal dan kepandaian yang dimiliki sehingga merasa besar diri terlalu mengagungkan akal dan kemampuannya menjadikannya sesat dan tidak mau menerima kebenaran dari Allah atau menyimpang dari fitrahnya. Firman Allah.

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Q.S. Al-Baqarah: 75).

Jadi pribadi yang sehat itu adalah pribadi yang mau menggunakan akal untuk berpikir rasional secara maksimal dalam menghadapi masalah yang terjadi. Al Qur’an juga melarang menuruti ide-ide yang tidak rasional seperti kata pasti, tahayul, dan keyakinan yang bersifat muthlak,

Beberapa petunjuk Al Qur’an yang cukup rasional dalam mendekati permasalahan, antara lain sebagai berikut.

1. Menyadari bahwa tidak semua usaha dan ikhtiyar kita selalu sukses dan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan, sebab manusia banyak memiliki keterbatasan, sehingga sebaiknya kita gunakan prinsif Insya’ Allah (jika Allah berkenan) dalam setiap usaha dan tindakan,

Firman Allah Swt.

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا, إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا

Janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan menyebut): “Insya-Allah” Ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kepada kebenarannya ini (Q.S. Al Kahfi: 23-24).

2. Meyakini bahwa disamping kesusahan pasti ada kemudahan. Firman Allah Swt.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا, إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا, فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ, وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan ) yang lain (Q.S. Al-Insyirah: 5-8).

3. Disamping kegagalan pasti akan ada keberuntungan, asal berusaha dengan sungguh sungguh. Firman Allah.

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

Hari-hari (keberhasilan dan kegagalan) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) (Q.S. Ali-Imran: 140).

4. Meyakini bahwa apapun yang menimpa pada diri atau yang terjadi di alam ini dibalik semuanya ada hikmahnya. Firman Allah Swt.

ربَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ

Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (Q.S. Ali-Imran: 191).

5. Bersikap sabar dalam menghadapi masalah. Firman Allah.

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S.Al-Baqarah;155).

6. Mengembalikan segala sesuatu kepada kekuasaan Allah dengan selalu tawakkal kepada Allah dalam setiap melakukan usaha dan tindakan. Firman Allah.

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِين

Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertawakal kepada-Nya (Q.S. Ali-Imran: 159).

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Anfal: 49).

َ

Sikap tawakal bukanlah sikap pasrah, menyerah, dan hanya menunggu kemurahan Allah, tetapi yang dimaksud adalah setelah melalui usaha manusia yang sungguh-sungguh, berencana dan memiliki perhitungan yang mantap, setelah itu baru menyerahkan urusannya kepada yang Maha Menentukan yaitu Allah Swt. Imam A-Razi dalam Al Maraghi juz 4, menerangkan bahwa pengertian tawakkal bukan berarti manusia melupakan andil dirinya, tetapi hendaklah seseorang dalam berusaha selalu memperhatikan sebab-sebab lahiriyah yang bisa mengantarkannya ke arah keberhasilan. Hanya saja janganlah percaya penuh terhadap sebab-sebab lahiriyah tersebut, bahkan ia harus berkeyakinan bahwa yang dilakukannya hanyalah untuk memelihara hikmah Ilahi semata 19.

Orang yang tawakal dalam hidupnya apabila ternyata kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan akan bisa tabah dan sabar menerimanya, sebaliknya apabila tercapai kesuksesan atau sesuai harapan dan kenyataan maka ia tidak mabuk dalam kegembiraan, sebab mereka yakin bahwa semua yang dilakukan itu tidak terlepas dari sunanatullah yang berlaku.

D. PENUTUP

Berdasarkan beberapa uraian yang telah dipaparkan, maka penulis tutup dengan beberapa kesimpulan.

1. Perspektif psikologi konseling (Rational Emotive Therapy-Albert Ellis), masalah pada hakikatnya bukan terletak pada suatu peristiwa yang terjadi, tetapi justru pada keyakinan yang tidak rasional.

2. Keyakinan yang tidak rasional itu bisa berupa tuntutan-tuntutan kemutlakan dan tahayul.

3. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan berpikir secara rasional untuk membantah dan memperdebatkan berbagai keyakinan yang irasional, sehingga timbul falsafah baru yang rasional dan realistis.

4. Perspektif Al-Qur’an, bahwa masalah itu merupakan cubaan atau ujian dari Allah kepada setiap manusia, baik berupa kesusahan dan keburukan, maupun kebaikan atau kenikmatan, dimana manusia akan mendapatkan keberuntungan apabila mampu menerima dan mengatasi cobaan tersebut secara baik dan benar.

5. Disamping berpikir rasional dengan memfungsikan akal secara maksimal dalam mendekati masalah, ada beberapa ide yang ditawarkan Al-Qur’an, yaitu: prinsip insya Allah bahwa segala usaha dan ikhtiyah tidak mesti akan selalu sesuai dengan harapan, meyakini bahwa disamping kesusahan pasti akan ada kemudahan, kesusahan dan keberuntungan akan selalu bergulir dalam kehidupan, segala yang terjadi pasti ada hikmahnya, bersikap sabar, dan sikap tawakkal kepada Allah Swt. Atas segala usaha yang telah dilakukan dengan sungguh-sungguh, terencana, dan penuh perhitungan.