Tuesday, July 19, 2011

suplemen MK PSi ISlam: shalat dan isra miraj

ARTIKEL INI DIMUAT DI HARIAN REPUBLIKA 30 JUNI 2011

Sebuah momen profetik penting dari kenabian Rasul Muhammad SAW yang dikenal dengan Isra’ Mi’raj akan kita peringati bersama. Perayaan ini akan selalu saja membawa makna sangat vital terkait dengan inti keimanan umat Islam, karena peristiwa ini nyaris selalu diidentikkan dengan ritus ibadah paling fundamental dalam dien al-Islam, yakni shalat.
Pada peristiwa inilah perintah untuk menegakkan shalat disampaikan oleh Tuhan secara langsung kepada utusan-Nya. Peristiwa ini menjadi sangat strategis dan vital, karena tak semua bentuk peribadahan diturunkan dengan cara yang serupa ini. Shalat menduduki peringkat wujud peribadatan terpenting, di posisi kedua setelah kesaksian (asy-syahadat) dalam lima rukun atau pilar dari ke-Islam-an seorang muslim sejati.
Makna sampingan yang tak kalah penting adalah sifat dari berlangsungnya momen ini. Isra’ Mi’raj merupakan fenomena transendental spiritualistik dalam tataran yang sangat tinggi. Dalam kacamata rasional, diperjalankannya seorang manusia dari sebuah kota Makkah (Masjidil Haram) ke kota Darussalam atau Jerusalem (Masjidl Aqsha) dalam tempo semalam dengan teknologi medium transportasi apapun pada saat itu, adalah kemustahilan. Kemustahilan ini semakin menjadi-jadi, ketika perjalanan itu berlanjut menuju langit ketujuh (sidratul muntaha).
Dalam alam manusia yang terperangkap dalam paham rasionalisme dan empirisisme ekstrem, peristiwa ini hanya menjadi cacian dan lelucon saja. Peristiwa ini, dipandang hanya bualan dan khayalan belaka, bagi mereka yang memahami bahwa hidup hanya berdimensi materi belaka. Karena itulah, peristiwa ini juga sekaligus menjadi medium ujian keimanan bagi kaum muslim di masa peristiwa itu berlangsung. Pada masa Nabi Muhammad SAW hidup, peristiwa ini menimbulkan heboh yang menggemparkan di jazirah Arabia. Sejumlah pemeluk Islam awal bahkan tanpa ragu menafikan kebenaran peristiwa ini. Sejumlah pemeluk Islam awal ini pun murtad karena terpicu peristiwa yang dinilai tidak rasional, tidak empiris, dan imajiner atau khayalan belaka.
Pada peristiwa ini tertegaskan pula bahwa sifat agama senantiasa melampaui sifat-sifat material. Keimanan dan keyakinan dengan hati (spiritual) menjadi instrumen penting. Keberadaan kaum murtadin yang muncul setelah peritiwa ini, menandakan bahwa keimanan yang berdimensi spiritualistic dan transendental merupakan komponen penting dalam memahami suatu eksistensi agama. Sosok sahabat nabi, Abu Bakar Ash-Shidiq, dalam hal ini telah meneladankan contoh kualitas keimanan transendental yang sempurna. Abu Bakar selalu menyatakan, tak ada kebohongan dari Nabi Muhammad SAW, termasuk dalam peristiwa ini.
Meneladani sifat dan sikap Abu Bakar dalam memandang suprarasionalitas dan dimensi supranaturalitas peristiwa Isra’ Mi’raj adalah bentuk wujud keimanan yang selayaknya juga dimiliki oleh kaum muslimin. Karena, peneguhan imanlah, yang menjadi target utama dari peristiwa ini. Iman itu pulalah yang menjadi isu utama dari turunnya perintah shalat yang turun atau disampaikan oleh Tuhan melalui peristiwa ini.
Esensi Shalat
Shalat yang diturunkan melalui peristiwa ini adalah media revolusioner yang diciptakan oleh Tuhan dengan banyak hikmah dan manfaat bagi kaum muslimin. Shalat adalah satu-satunya wahana peribadahan yang memungkinkan seorang hamba berkoneksi dengan Tuhannya secara langsung (divine connectedness). Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an, karya mujahid besar dunia Islam asal Mesir, Sayyid Quthb, shalat dijelaskan sebagai ash-shilatun wal liqa’un baina abdi wa rabbi. Shalat adalah koneksi (ash-shilatun) dan perjumpaan (al-liqa’un) antara hamba dan Tuhannya. Metode ibadah yang sejenis ini adalah sejenis bentuk ibadah yang sangat revolusioner, karena memungkinkan seorang manusia berkoneksi secara langsung dengan Rabb-nya. Ini tentu adalah suatu revolusi spiritual besar yang pernah terjadi dalam sejarah agama-agama dunia, karena Islam tidak pernah mengenal adanya parokialisme atau sistem kependetaan. Shalat yang diturunkan melalui peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi revolusi terfenomenal dalam pola hubungan antara tuhan dan manusia.
Ibadah shalat dalam makna hakiki adalah terjadinya atau berlangsungnya suatu komunikasi intens antara hamba dan Tuhannya. Lantaran atas utama dan tingginya posisi shalat, maka bisa dipahami bila proses turunnya perintah inipun melalui cara yang luar biasa istimewa, yakni melalui petriswa isra’ (perjalanan) dan mi’raj (penaikan) kepada Tuhan, Tuhan Alam Semesta.
Kedudukan istimewa shalat juga karena muatan dalam bentuk ibadah ini yang merangkum dimensi fisik/eksoteris dan spiritual/esoteris. Dalam shalat, tentu ada dimensi eksoteris yang meliputi tata cara gerak tubuh dan bacaan. Namun, yang tak kalah penting adalah bahwa ada dimensi esoteris dalam shalat yang meliputi makna bacaan, makna gerakan, afirmasi bacaan, afirmasi gerakan, manifestasi penyembahan, serta kesyukuran. Pelaksanaan shalat dengan paradigma yang merangkum dimensi eksoteris dan esoteris tentu akan menjadi bentuk shalat yang sempurna. Kesempurnaan shalat ini akan menghindarkan kaum muslim dari tindak tercela, keji, dan destruktif serta akan mengantarkan kaum muslim menjadi pribadi yang mulia dan terpuji sebagaimana tujuan dari shalat itu sendiri.
Up-grade Shalat
Melihat keistimewaan dan begitu utamanya kedudukan shalat dalam Islam —sedangkan fungsi profetis Rasulullah Muhammad SAW adalah untuk memperbaiki akhlak atau karakter— logis dan mudah dipahami (understandable) bila sebenarnya shalat memegang peran menentukan dalam membentuk karakter umat Islam secara kolektif. Siapapaun orang yang berakal sehat dan berhati jernih pasti akan selalu mempertanyakan tentang esensi peribadatan shalat yang dalam khitah atau cetak birunya memiliki peluang mengantar seorang muslim pada perilaku mulia dan terpuji serta mencegahkan diri dari tindak keji dan jahat, namun potret masyarakat muslim justru menampilkan karakteristik yang sebaliknya.
Fenomena dan potret buruk karakter ini bila dikaitkan dengan praktik shalat, terjadi karena makna ibadah yang tereduksi hanya pada dimensi syariah (syariah minded). Shalat yang reduksif seperti ini bisa dipahami bila tidak memberikan efek psikologis dan behavioral kepada pelakunya. Bila shalat sejenis ini dijalankan, tidak akan mampu memberikan pengaruh positif dan perbaikan karakter atau akhlak. Individu muslim yang masih getol berbuat koruptif, bisa dipastikan pemahaman dan praktik shalatnya masih reduktif: belum melangkah lebih maju pada kedalaman dimensi eksoterik shalat.
Karena itulah, sebuah kritik mesti ditujukan kepada perilaku sosial dalam bentuk ibadah yang serba eksoteris ini. Kaum muslim sudah semestinya untuk sesegera mungkin meng-up-grade menuju pemahaman yang lebih esoteris dalam tata cara ibadah shalatnya. Al-Qur’an menegaskan bahwa salah satu indikator keimanan seorang muslim adalah bila seorang muslim itu dalam praktik shalatnya khusyuk (Q.S. Al-Mukminun; 1-2). Shalat secara khusyuk ini hanya bisa dilakukan bila seseorang memahami dua ranah dalam shalat, dari ranah syariah (esoteris) sampai hakikah (esoteris).
Kini, demi peningkatan karakter kaum muslimin, maka pemahaman ranah esoteris sudah seharusnya mulai diperdalam dan diperhatikan. Aspek esoteris ini mampu merangkum hingga pada makna (meaningfulness) afirmatif bacaan, gerakan tubuh, hingga makna simbolis dari shalat sebagai manifestasi kesyukuran dan penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dengan pemahaman holistik pada seluruh dimensi dalam ibadah shalat, niscaya pembangunan karakter yang mulia akan lebih mudah terbentuk dalam masyarakat muslim secara luas. Karena ibadah shalat memang, sejak dari khiththah dilahirkannya, adalah untuk menciptakan manusia yang berkarakter. Atau lebih tepatnya, karakter mulia (akhlaqul karimah) yang saat ini sungguh sangat langka di dalam kehidupan bermasyarakat kita