Oleh: Abdul Hayat
ABSTRAK
Kajian ini adalah untuk menemukan konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, yaitu tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat. Bentuk kajian ini adalah kajian pustaka yang bersifat kualitatif. Hasil kajian ini disimpulkan: manusia pada hakikatnya adalah makhluk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah. Pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah.
Kata-kata kunci: Konsep konseling, hakikat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan , keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al Kitab) di kalangan umat Kristiani.
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun hal itu belum terungkap dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha mengungkan ayat-ayat tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara konseptual dan sistematis.
Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya
Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? (Q.S. Al-Qamar: 40).
Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak memerlukan penafsiran yang rumit, serta kandungannya bisa dikaitkan kepada hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat fakta-fakta hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat filosofis, sehingga isinya mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai aspek realitas kehidupan.
B. METODE
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil penelitian (Pidarta, 1999: 3-4).
Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, menekankan proses, menganalisa data secara induktif, dan rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29).
2. Pendekatan dan Tahap-Tahap Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) yang bersifat penafsiran (hermeneutik). Analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 2001:163). Adapun hermeneutik berarti penafsiran atau menafsirkan, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci, seperti Al Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad (Sumaryono, 1999: 24-28). Jadi, analisis dalam penelitian ini adalah menganalisis data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung relevan dengan konsep konseling, agar dapat diketahui dan dimengerti kandungan konselingnya secara jelas.
Adapun langkah-langkah dalam kajian ini adalahsenagai berikut:
Pertama. Menemukan konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat dari teori-teori pendekatan konseling. Konsep tersebut ditelaah dari teori-teori pendekatan konseling yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan yaitu; psikoanalitik, terapi Adlerian, terapi eksistensial, terapi terpusat pada pribadi, terapi gestalt, analisis transaksional, terapi perilaku, terapi rasional emotif, dan, terapi realita.
Kedua. Mencari dan mengumpulkan data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling. Mencari dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling dengan berpijak pada sifat dan kriteria konsep pokok konseling yang pada langkah pertama.
Ketiga. Menetapkan ayat-ayat Al Qur’an yang relevan dengan konsep pokok konseling, menafsirkan, dan menguraikannya secara konseptual dan sistematis.
Keempat. Melakukan sintesis kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan konsep konseling, yaitu dengan mengungkap, menghubungkan dan menggabungkan secara kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang telah ditetapkan dengan konsep pokok konseling sehingga terlihat dengan jelas relevansinya.
Kelima. Membuat ketetapan akhir dengan menyimpulkan bagaimana konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an secara konseptual dan sistematis.
C. HASIL KAJIAN
1. Hakikat Manusia
Menurut konsep konseling, manusia itu pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu Al Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini meliputi ketiga komponen lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi, dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia sebagai makhluk religius.
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.). Al Hawa adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad: 26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan kalbu sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Terpusat pada Pribadi, Terapi Eksistensial, Terapi Gestalt, Rasional Emotif Terapi, dan Terapi Realita. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang (Al-Baqarah: 164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 ) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir: 38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah: 155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa (Ar-Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan An-Nisa: 78).
c. Sebagai Makhluk Sosial
Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, (2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali, (4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia memilikipotensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim: 6) Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-Hasyr:18), bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (Al-Ankabut: 7, Al-A’raf: 179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk sosial ini pula manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).
d. Sebagai Makhluk Religius
Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-A’raf:172-174). Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah(Adz-Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).
2. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial. Al Qur’an di samping menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang mampu megngatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta serasinya fungsi id, ego dan superego, (2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4) percaya diri, (5) sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan bertanggung jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9) tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62). Mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48 dan Ar-Ra’du: 28). Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan terhadap pengalaman (Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri ini ada pada orang yang istiqamah (konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-Imran: 139). Mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup yang disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran: 29, Ar-Ra’du:11, Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kepribadian shidiq, yaitu sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan, serasi antara sikap dan perilaku (Al-Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab, salah satu bentuk penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-Imran:135), serta adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya (Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32), memiliki sikap tawakkal dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah, dengan kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140, Al-Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri. (An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral, Transaksional, dan Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2) memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang lain, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6). Disamping amal saleh, adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran positif (husnus zhan) baik terhadap diri sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).
Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8), dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah: 275, An-Nisa: 29). Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi melarang orang duduk-duduk dipinggir jalan yang membuat orang yang mau lewat merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan memperhatikan dia bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat berjemaah ketika mendengan salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang menangis.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral. Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat menciptakan atau mengolah lingkungannya secara baik.
Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini adalah untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-Rum: 41). Untuk itu pribadi yang sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-Taubah: 105). Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).
3. Pribadi Tidak Sehat
Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping menerangkan tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam pendekatan Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka terhadap pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6) inkongruen, (7) tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8) kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional, (10) menolak diri sendiri.
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-Haj:46, Al-A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari kekufuran, kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151). Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang bukan golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-Maidah: 104, Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).
Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, yaitu suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112)., dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di dalam hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di satu tempat dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam konseling disebut dengan inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145). Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi dirinya berdasarkan evaluasi eksternal (Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47), kurangnya kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang yang tidak pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan) (Fushilat: 49, Luqman: 34), rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1, Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian, pribadi yang tidak pandai bersyukur terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan Ali-Imran:191, Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2) memandang diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau lebih suka menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181), orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us zhan (berpikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-Hujurat:12).
Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak konstruktif (An-Nur:19, Al-Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis dengan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi takaran dan timbangano dalan berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh, dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278, An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan An-Nisa: 29).
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi Behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al Qur’an mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalaho pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6, Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al Kahfi: 110).
Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).
D. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi nafsu, yaitu al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampaui batas. Al Hawa adalah dorongan yang tidak rasional, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan, nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal, dan nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada hal-hal yang positif.
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling sebagaimana dikemukakan oleh Freud dalam Psikoanalisisnya bahwa manusia memiliki potensi dasar isnting yang dalam pembentukan kepribadian berkedudukan dalam id, yaitu sumber utama energi psikis berupa dorongan seksual (libido), dorongan hidup (eros) dandorongan agresip merusak diri (thanatos), dorongan ini tidak rasional,tidak bermoral, memaksakan kehendak yang berada di luar kesadaran manusia.
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Al Qur’an menerangkan bahwa manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang, memiliki kesadaran diri (as-syu’ru), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan serta tanggung jawab. Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf, memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa, memiliki kesadaran (as syu’ru) begitu juga tentang kematian ia akan datang kapan saja dan dimana saja dan tidak diketahui sebelumnya, sebab kematian adalah merupakan urusan Allah semata.
Keterangan tersebut relevan dengan konsep konseling, yaitu manusia ada bersama orang lain oleh karena itu manusia harus memiliki kepribadian yang eksis. Pribadi yang eksis itu menurut konsep konseling adalah pribadi yang memiliki potensi kemampuan berpikir rasional, memiliki kesadaran diri, memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, bertanggung jawab atas arah pilihan yang ditentukan sendiri, merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, dan selalu terlibat dalam proses aktualisasi diri
c. Sebagai Makhluk Sosial
Manusia memiliki fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok, bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya). Manusia membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi, memiliki hati nurani (kalbu), dan mampu melakukan amal shalih.
Keterangan di atas relevan dengan konsep konseling yang mengungkapkan bahwa manusia ada merupakan bagian dari masyarakat dan dunia sosial, sehingga kita tidak berarti tanpa adanya orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, ia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya, prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), keputusan dapat ditinjau kembali apabila keputusan yang telah diambil terdahulu tidak lagi cocok, ia selalu menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan, membuat dan menyumbang, menerima diri sendiri dengan apa adanya, dan memiliki komponen superego, yaitu kode moral dan nilai ideal yang mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah.
d. Sebagai Makhluk Religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada. Namun ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.
2. Pribadi Sehat
Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut keterangan Al Qur’an pribadi sehat dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu, mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan), memiliki kebebasan dan bertanggung jawab, berbuat atas pertimbangan sendiri serta siap bertanggung jawab baik terhadap sesama manusia maupun kepada Allah Swt.. Dismping itu juga pribadi yang memiliki kepribadian shidiq dan amanah, mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (ihsan), serta sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya, memiliki sikap tawakkal, serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri (qana’ah).
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi sehat itu memiliki ciri-ciri pokok: ego berfungsi penuh, serta sesuainya antara id, ego dan superego, bebas dari kecemasan, keterbukaan terhadap pengalaman, memiliki kebebasan dan tanggungjawab, kongruensi, sumber evaluasi internal, kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, serta tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), menerima diri sendiri dan percaya diri.
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong, menerima pengalaman dan bertanggung jawab sekalipun pengalaman itu buruk dan menyakitkan, berpikiran positif (husnus zhan). Di samping itu dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung.
Keterangan ini relevan dengan Berdasarkan keempat teori ini, pribadi yang benar terhadap orang lain adalah pribadi yang mau menyumbang, memberi dan menerima, menerima pengalaman dan bertanggungjawab, memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m ok your are ok), signifikan dan berharga bagi orang lain, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang peduli, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungannya, dan pribadi yang mampu memproduk lingkungan menjadi kondosip bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral yang menegaskan bahwa pribadi yang benar terhadap lingkungan adalah pribadi yang mempu berhubungan baik dengan lingkungan, juga berbuat sesuatu guna mengolah lingkungan menjadi baik, minimal tidak membuat sesuatu yang bisa merusak lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi kehidupan.
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas. Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan dengan baik.
Keterngan ini tidak dijelaskan dalam konsep konseling.
3. Pribadi Tidak Sehat
Pribadi tidak sehat pada hakikatnya adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungan dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral, tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia, ta’ashub yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik, riya yaitu beramal hanya untuk dilihat orang lain, kurang memiliki kesadaran diri dan tidak konstruktif, tidak pandai bertawakkal, rendah diri (ya’uus ) dan putus asa (qunuut).
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur hubungan dengan diri sendiri itu memiliki ciri-ciri kepribadian sebagai berikut: ego tidak berfungsi penuh, tidak serasinya antara id, ego, dan superego, dikuasai kecemasan, tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman atau tidak bertanggung jawab, inkongruen, sumber evaluasi eksternal, kurangnya kesadaran diri, tidak konstruktif, terbelenggu ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), serta rendah diri putus asa.
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan, tidak mau saling menolong (ta’awun), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain, su’us zhan (berfikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah yaitu menggunjing sesama, kufur nikmat, enggan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, gemar melakukan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu perbuatan yang cendrung hanya menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, dan sebagainya.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang egois dan tidak mau menyumbang, memandang diri sendiri baik sedang orang lain jelek (I’m ok your are not ok), berpikiran negatif terhadap orang lain, ketidak mampuan menyesuaikan diri secara psikologis, memenuhi kebutuhan sendiri dengan mengorbankan (merampas) hak orang lain.
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak bisa membangun hubungan baik dengan alam atau kosmos, dan ikut berperilaku yang bisa merusak lingkungan..
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt. yaitu ibadah-ibadah yang diwajibkan kepadanya untuk dilaksanakan, atau tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain. Di samping kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik.
Kemudian, pribadi yang tidak sehat terhadap Allah adalah pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan.
Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut .
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Alah Swt.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting. Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.
d. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an, manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius (At Tin: 4). Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
2. Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini bukan merupakan konsep yang sudah lengkap dan final dan dapat mewakili nilai kandungan ayat-ayat Al Qur’an secara utuh, maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini, baik memperluas atau memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, H.B. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Ancok, J. & Suroso, F.N. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000.
As Shiddiqy, TM. Tafsir Al Qur’an Al Majied: An Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Bastaman, H.D. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Bishop, D.R. 1992 Religius Values as Cross-Cultural Issues in Counseling. Counseling and Values, (36): 179-191,.
Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. Riset Kualitatif Untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori dan Metode. Terjemahan Munandir. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direkturat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1990.
Brian, J. Zinnbauer and Kenneth I. Pergement. 2000. Working With The Sacred: Four Approaches to Religious and Spiritual Issues in Counseling. Journal of Counseling & Development. (78): 162-170.
Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996.
Cottone, R.R. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1992.
Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV / Tahun I, 1984/1985.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990.
Gania, V. 1994. Scular Psychotherapists and Religious Clients: Profesional Consideration and Recommendations. Journal of Counseling and Development. (72): 395-398.
Gilliland, B.E., James, K.R., Bowman,J.T. Theories and Strategie in Counseling and Pasychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1984.
Hall, C.H., Lindzey, G. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, INC., 1970.
Ismail, M. Shahih Al-Bukhari, Juz. 1 – 4. Istambul Turki: Al-Maktabah Al-Islami, 1979.
Kivlighan, Jr, D.M. and Shaughnessy, P. 1995.Analysis of the Development of the Working Alliance Using Hierarchical Linear Modeling. Journal of Counseling Psychology 42: 338–349.
Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Munawwir, A.W. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1994.
Madjid, N. Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.9-58). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.
Muzhahiri, H. Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani. Terjemahan Ahmad Subandi: PT. Lentera Basritama, 2000.
Mujib, A. & Mudzakir, J.. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Nelson-Jones. Counseling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd., 1995.
Pidarta,M. 1999. Studi tentang Landasan Kependidikan. Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan. (26): 3-15.
Rachman, B.M. Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah (Pemikiran Neo-Modernisme Islam Di Indonesia. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.99-141). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.
Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.
Wednesday, September 5, 2007
KONSEP KONSELING BERDASARKAN AYAT-AYAT AL QUR’AN TENTANG HAKIKAT MANUSIA, PRIBADI SEHAT, DAN PRIBADI TIDAK SEHAT
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment