Friday, February 23, 2007

Transcendental Experiences pada Peserta Dzikir “Patrap”

Pendahuluan
Perintisan psikologi transpersonal diawali dengan penelitian-penelitian tentang psikologi kesehatan pada tahun 1960an yang dilakukan oleh Abraham Maslow (Kaszaniak, 2002). Perkembangan psikologi transpersonal lebih pesat lagi setelah terbitnya Journal of Transpersonal Psychology pada tahun 1969 dimana disiplin ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatian pada dimensi spiritual manusia. Penelitian mengenai gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, exctasy, kesadaran ruhaniah, pengalaman transpersonal, aktualisasi transpersonal dan pengalaman transpersonal mulai dikembangkan. Aliran psikologi yang memfokuskan diri pada kajian-kajian transpersonal menamakan dirinya aliran psikologi transpersonal dan memproklamirkan diri sebagai aliran ke empat setelah psikoanalisis, behaviourisme dan humanistik. Psikologi transpersonal memfokuskan diri pada bentuk-bentuk kesadaran manusia, khususnya taraf kesadaran ASCs (altered states of consciosness).
Berkembangnya psikologi transpersonal tidak terlepas dari minat terhadap tradisi agama dan spiritual yang banyak dipraktekan oleh orang Amerika dan Eropa. Salah satunya adalah meditasi, bentuk meditasi yang banyak diminati adalah Transcendental Meditation (TM) yang dikembangkan olah Maharishi Mahes Yogi.
Di dalam kajian psikologi, meditasi didefinisikan sebagai usaha membatasi kesadaran pada satu objek stimulasi yang tidak berubah pada waktu tertentu (Ornstein, 1986). Pada meditasi transendental kesadaran pada objek meditasi ini ditujukan kepada Tuhan yang menciptakan alam semesta, sehingga meditasi transendental ini banyak digunakan sebagai cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan atau penyatuan transendental dengan Tuhan (Subandi, 2002).
Menurut Haryanto (2001) dzikir sebenarnya merupakan salah satu dari bentuk meditasi transendental. Ketika seseorang khusyuk, objek pikir atau stimulasi tertuju pada Allah SWT (dzikrullah) disini ada unsur transenden yaitu mengingat akan Allah, merasakan adanya Allah serta persepsi kedekatan dengan Allah. Menurut Simuh (dalam Anward, 1996) menuturkan dzikrullah akan berhasil bila dilakukan dengan penuh penghayatan dan semata-mata tertuju kepada Allah, tidak terpengaruh lagi terhadap alam sekitar serta kesadaran yang beralih dari fisik ke jiwa. Pada kondisi ini menurut Tart (1975) akan memunculkan keadaan hening dan lebih jauh lagi munculnya fenomena ecstasy.
Dalam artikel ini penulis mengambil kasus pada peserta majelis dzikrullah patrap. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kemudian dari data tersebut diperoleh fenomena-fenomena menarik yang berkaitan dengan transcendental experience yaitu : ASCs, relaxed alertness, cosmic consciousness, dan trance, yang akan diulas satu-persatu.
Perkembangan patrap yang cukup pesat pertama kali disebarluaskan melalui mailling list dzikrullah@yahoogroups.com, dari mailling list inilah kemudian berkembang menjadi praktek dzikir yang dilakukan oleh halaqoh-halaqoh atau kelompok-kelompok di kota-kota besar terutama di Jakarta, Batam, Surabaya, dan Semarang, bahkan beberapa peserta yang melakukan secara individual di luar negeri seperti Belanda, Singapura, malaysia, yang umumnya peserta di luar Indonesia dibimbing oleh Ust Abu Sangkan melalui email.
Dasar-dasar dan praktek dzikir dengan metode patrap ini sudah disusun dan dibukukan dalam sebuah buku yang berjudul “Berguru Kepada Allah” yang ditulis sendiri oleh Ust. Abu Sangkan. Buku tersebut merupakan pengalaman pribadi dari penulisnya, yang melakukan perjalanan spiritual, dalam buku tersebut diuraikan teori bagaimana bersyariat, bertarekat, mencapai hakikat, dan akhirnya makrifat kepada Allah melalui metode dzikir patrap.
Menurut Sangkan (2002) istilah patrap diambil dari kitab pepali karya Ki Ageng Selo, yang menurutnya sesuai dengan arti dan makna dzikrullah dalam bahasa Arab. Dengan kata lain istilah patrap ini sama dengan istilah dzikrullah yang diartikan dalam bahasa jawa, namun bukan kejawen, hanya mengambil istilah saja. Sehingga patrap dapat diartikan sebagai suatu sikap dzikir yang sempurna yang bercirikan penyerahan diri secara total, menggantungkan hidup dan matinya diperuntukkan untuk Allah, serta sikap ingat kepada Allah dalam setiap waktu dan keadaan.
Metode patrap ini merupakan dzikir sekaligus meditasi transendental yang ditandai dengan proses mengkonsentrasikan pada objek pikir Allah, penguasa alam, yang meliputi segala sesuatu, secara intens dan tidak terputus. Dengan dzikir patrap ini seseorang akan diantarkan untuk selalu berdzikir kepada Allah yang tidak hanya sekedar ucapan namun lebih dari itu yaitu dengan kesadaran yang benar-benar sadar, dengan totalitas baik secara kognitif, emosi, bahkan konatifnya sehingga pada kondisi tertentu dapat mencapai altered states of consciousness (keadaan kesadaran yang berubah) dan keadaan transendensi.

Penejelasan tentang transendensi
Isu yang sekarang berkembang di dunia psikologi adalah munculnya spiritual quotient, perkembangan ini tidak hanya diikuti oleh dunia psikologi saja tetapi juga oleh masyarakat luas yang haus akan kedamaian, ketentraman dan sentuhan spiritual. Menurut Zohar (2000) spiritual quotient adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar.
Kecerdasan spiritual ini tidak hanya dimiliki oleh orang beragama, orang awam agama atau bahkan tidak beragama sekalipun bila memiliki kemauan menggembleng diri untuk meningkatkan kemampuan spiritualnya maka akan memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Demikian pula sebaliknya bila orang beragama hanya memperhatikan masalah eksoterik (ritualistik) namun kurang memperhatikan isoterik (kehakikatan) maka akan memiliki tingkat spiritualitas yang rendah. Kemampuan mentransendenkan dirilah yang akan menentukan seseorang memiliki spiriualitas yang tinggi atau rendah.
Menurut Zohar (2000) transenden merupakan suatu yang membawa seseorang mengatasi (beyond) masa kini, mengatasi rasa suka atau duka, bahkan mengatasi diri pada saat ini. Ia membawa seseorang melampaui batas-batas pengetahuan dan pengalaman, serta menempatkan pengetahuan dan pengalaman ke dalam konteks yang lebih luas. Transendensi memberikan kesadaran akan sesuatu yang luar biasa dan tak terbatas, baik sesuatu itu berada pada diri kita sendiri maupun dunia di sekitar kita.
Kesadaran transendensi ini sesuai dengan teori medan kuantum yang menyebutkan bahwa manusia, meja, kursi, hewan, langit dan alam semesta merupakan pola energi yang dinamik yang berada diantara energi yang diam dan tak tereksitasi (hampa kuantum). Hampa kuantum ini tidak memiliki sifat yang dapat dirasakan atau diukur secara langsung. Sifat-sifat yang dapat dirasakan atau diukur tentulah merupakan eksitasi dari hampa kuantum, bukan hampa kuantum itu sendiri.

Munculnya altered states of consciousness
Kesadaran yang dimiliki manusia bersifat multidimensional, kesadaran yang umum digunakan oleh manusia adalah kesadaran yang paling dasar, masih ada tingkat-tingkat kesadaran yang lebih dalam dan lebih tinggi tingkatannya (Adi, 2002). Secara sederhana diterangkan oleh Iramansyah (2001) bahwa kesadaran dibagi menjadi 3 tingkatan. Pertama kesadaran fisik dengan ciri kesadaran diperoleh melalui sensasi fisik, melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, berpikir dengan otak, sedih dan gembira dengan hati. Taraf kesadaran yang kedua yaitu kesadaran jiwa. Kesadaran ini merupakan bentuk pengenalan diri yang lebih dalam dengan menyadari bahwa dirinya bukanlah fisik tetapi makhluk mental. Ciri utama dari kesadaran ini adalah ketenangan karena pada taraf ini tidak ada senang dan tidak susah, dan dirinya adalah sosok yang meyaksikan tubuh, perasaan, pikiran dan alam sekitarnya. Taraf yang terakhir adalah kesadaran ketuhanan. Dirinya menyadari bahwa semua yang materi adalah tiada yang ada hanyalah Tuhan yang menciptakan dan menggerakkan serta yang meliputi segala sesuatu.
Munculnya ASCs pada seseorang dapat dijadikan alat untuk mengakses pengalaman transpersonal dan dapat menjadi suatu bantuan untuk penyembuhan (Adi, 2002). Dengan kemudahan akses pengalaman transpersonal ini seseorang bisa meningkatkan kecerdasan spiritualnya yang oleh Spilka (dalam Subandi, 2002) memiliki ciri: pertama noetic yaitu pengalaman tersebut mampu menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan baru yang valid. Kedua ineffable pengalamannya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ketiga holy berterkaitan komunikasi dengan Tuhan, keempat positive effect, pengalaman tersebut menimbulkan perasaan yang positif kelima paradoxal, kadang berlawanan dengan kenyataan hidup sehari-hari dan terakhir timeless and spaceless, orang merasa terlepas dari dimensi ruang dan waktu.
Keadaan berubahnya kesadaran dari kondisi kesadaran normal menjadi lebih tinggi umumnya dialami oleh peserta patrap. Misalnya mereka menuturkan bahwa dirinya sekarang menjadi pengamat terhadap pikiran dan perasaan, tidak lagi terombang-ambingkan oleh perasaan dan pikirannya. Sebagian mengungkapkan pengalaman spiritualnya tanpa bisa mencari kata apa yang tepat untuk mendiskripsikan pengalaman tersebut. Dan pengalaman yang cukup menarik adalah pembuatan buku “berguru kepada Allah” buku tersebut ditulis tidak berdasarkan pemikiran yang runtut dengan kaidah penulisan buku namun ide-ide tersebut muncul melalui proses transendensi yang keluar begitu saja seperti arus air yang langsung dituangkan dalam bentuk tulisan oleh pengarangnya yaitu Ust Abu Sangkan.

Fenomena Binding problem (cosmic consciousness) sebagai sebuah osilasi saraf sinkron
Hasil wawancara dengan beberapa peserta Patrap menuturkan, ketika dzikir total ke Allah fikiran dan perasaan dipusatkan ke Allah kesadaran diri menjadi kosong dan tidak ada, bahkan beberapa peserta menyatakan bahwa dirinya tidak merasakan lagi tangan, kaki sebagai bagian dari tubuhnya. Selain itu mereka mendapatkan sensasi menyatu dengan alam dan muncul kesadaran bahwa Allah itu ada dan Allah itu satu dan ada dimana-mana.
Cosmic consciousness merupakan pengalaman yang banyak dialami oleh mereka yang melakukan meditasi. Perasaan menyatu dengan alam, merasa diri memiliki keseimbangan dengan sekelilingnya, perasaan ini diikuti oleh perasaan tenang dan meningkatnya ESP (extra sensory perception). Contoh sederhana dari fenomena ini adalah ketika sedang mengendarai mobil, seolah-olah diri kita adalah mobil tersebut, saat mobil menyerempet dinding maka diri kita yang merasakan sakit. Dalam kondisi yang lebih lanjut seseorang akan merasa bersatu dan kadang terdapat persepsi bahwa dirinya tidak ada atau hilang (no mind/zero mind). Fenomena binding problem dapat dijelaskan dengan terjadinya peristiwa saraf yaitu adanya osilasi pada saraf.
Singer (dalam Zohar 2000) mengungkapkan dalam penelitian bahwa bagian otak selalu mengeluarkan sinyal listrik yang terbaca melalui EEG (electroencephalograph) yang berosilasi dengan frekwensi yang berbeda-beda. Sehingga ketika seseorang mempersepsi suatu benda misalnya sebuah gelas maka sel-sel saraf dibagian tertentu akan terlibat dalam proses osilasi secara seragam dengan frekwensi 35-45 Hz. Osilasi sinkron ini menyatukan respon cerapan yang berbeda-beda terhadap gelas tersebut yaitu bentuknya, warnanya, tingginya dan sebagainya, dan hal ini akan memberikan pengalaman tentang benda yang utuh dan solid.
Penemuan Singer ini diperkuat dengan fenomena yang terjadi pada meditator yang menjadi subjek penelitiannya. Praktik-praktik meditasi seperti meditasi transendental, yoga atau yang lainya ketika meditator duduk tegak, kemudian mulai memusatkan perhatian pada objek pikir tertentu selama beberapa menit. Karena tidak ada gangguan otak selama meditasi otak menjadi tenang dan meditator menjadi sangat relaks. Pada tahap selanjutnya meditator bergerak ketahap kesadaran yang kosong dari pemikiran atau isi. Kadang meditator mampu secara sadar mendalami pandangan-pandangan tertentu secara lebih dalam. Keadaan ini membawa meningkatnya gelombang otak koheren pada frekwensi 40 Hz, pengalaman ini dituturkan oleh meditator tentang isi kesadaran yang memasuki keutuhan atau unity yang diiringi dengan menyatunya osilasi sel saraf otak. Kecerdasan unitif (unitive thinking) inilah yang menurut Zohar (2000) merupakan dasar dari kecerdasan spiritual.
Munculnya gejala penyatuan (merging) dimana orang merasa bersatu dengan objek pikir meditasi merupakan suatu bentuk yang oleh Maslow disebut sebagai peak experience (craps, 1993).

Perubahan gelombang otak selama proses dzikir
Efek yang paling sering dialami oleh peserta dzikir metode patrap adalah munculnya kondisi tenang, pernapasan berjalan dengan lebih lambat, badan menjadi rileks dan beberapa dari mereka dapat merasakan keheningan yang sangat dalam sehingga mereka menuturkan ketika kondisi tersebut berlangsung mereka tidak mampu berkata-kata seperti orang melamun tapi tetap sadar.
Fenomena peserta patrap ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hirai (dalam, Subandi 2002) yang menemukan bahwa adanya perubahan gelombang otak selama proses meditasi berlangsung. Dari hasil penelitiannya Hirai membagi menjadi empat tahap : pertama, dalam lima puluh menit gelombang otak berubah dari betha ke alpha. Kedua, gelombang otak makin halus sekitar 50% gelombang alpha muncul ketika subjek menutup mata, ketiga, gelombang otak semakin lambat dan halus, dan keempat, gelombang otak menjadi gelombang tetha yaitu gelombang yang pada umumnya muncul pada saat tidur atau mimpi. Terakhir perubahan makin halus dan menjadi gelombang deltha yang sangat lambat. Ditemukan juga bahwa makin lama seorang berlatih meditasi, makin halus gelombang otaknya. Perubahan-perubahan gelombang otak ini merupakan indikasi dari adanya perubahan tingkat kesadaran dan sangat erat berhubungan dengan pengalaman-pengalaman transendental.
Penelitian Pare-Linas (dalam Zohar, 2000) mengenai osilasi saraf 40 Hz menunjukkan bahwa kesadaran merupakan sifat dari intrinsik otak dan kesadaran itu sendiri adalah proses yang transenden yakni kesadaran yang menghubungkan kita dengan realitas yang jauh lebih dalam dan lebih kaya dari pada sekedar hubungan dan vibrasi beberapa sel saraf.

Pola gelombang otak dan artinya
Tipe
Laju Hz
Tempat/waktu
Arti
Delta
0.5 –3.5
Tidur nyenyak atau koma, sering ditemukan pada otak bayi
Otak tidak melakukan apa-apa
Theta
3.5 – 7
Tidur yang disertai mimpi; pada anak usia 3-6 tahun
Informasi secara berkala dikirim dari suatu area ke area lain, dari hipokampus ke tempat penimpanan yang lebih permanen di kortek
Alfa
7-13
Dewasa; pada anak usia 7-14 tahun
Keadaan relaxed alertness
Beta
13-30
Dewasa
Kerja mental yang terkonsentrasi
Gamma
40
Otak yang sadar, baik dalam kondisi terjaga atau tidur yang disertai mimpi
Cerapan yang dapat diikat atau dipahami (perceptual binding)

200
Baru ditemukan di dalam hipokampus
Fungsi belum ditemukan

Terjadinya trance ketika dzikir berlangsung
Keadaan trance masih menjadi perdebatan di kalangan psikologi apakah trance itu terjadi secara sadar atau tidak. Sebagian ahli berpendapat bahwa trance itu tidak sadar sebab beberapa penelitian membuktikan bahwa mereka yang sedang mengalami trance tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi pada saat trance, yang diajukan peneliti setelah kondisi trance selesai. Namun sebagian ahli yang berpendapat bahwa trance itu bisa dicapai dengan sadar dengan alasan bahwa proses kesadaran yang terjadi pada saat trance adalah terdesaknya kesadaran sehingga muncul kesadaran lain (Kartoatmojo, 1995), kemudian jika kesadaran tersebut terdesak dan orang tersebut mampu mempertahankan kesadarannya maka apa yang terjadi ketika dirinya trance akan diketahuinya dan dia tetap sadar, sehingga seolah-olah memiliki dua bentuk kesadaran. Hal ini seperti terjadi pada kasus hipnosis bila si suyet (terhipnosis) tidak bersedia menyerahkan kesadaran dirinya secara total pada penghipnosisnya maka hipnosa tidak akan terjadi dan suyet tidak mampu dipengaruhi oleh penghipnosis.
Jadi munculnya fenomena-fenomena transpersonal pada saat trance sangat tergantung dari apa yang diinginkan, dipikirkan, dan dibayangkan. Misalnya seorang yang sebelum trance mereka mengharapkan, membayangkan, memikirkan maka dia akan mengkonsentrasikan pada objek pikir tersebut. Misalnya mengkonsentrasikan titik maka akan muncul fenomena seperti berada di suatu tempat yang tinggi, memasuki lorong yang panjang, mendapatkan cahaya sangat terang benderang kemudian dia masuk total dan mengikuti terus fenomena yang muncul maka akan terjadi peristiwa trance yang tidak disadari. Namun bagi mereka yang meniatkan dirinya untuk mendekatkan, memikirkan, merasakan Allah maka fenomena yang muncul seperti perasaan dekat, dan terjadinya proses unbinding dan pada kondisi ini trance yang dialaminya tetap dalam keadaan sadar sebab dia tidak masuk pada fenomena yang muncul tapi tetap menjaga kesadaran untuk tetap pada objek pikir Allah.
Proses terjadinya trance seringkali disertai dengan gerakan-gerakan yang tidak beraturan entah itu disadari ataupun tidak. Gerakan ini disebabkan karena otak mendapatkan rangsangan yang sangat kuat yang selama ini rangsangan itu belum pernah dikenal sebelumnya. Rangsangan yang kuat ini mirip dengan penderita epilepsi ketika dia mendapatkan serangan pada otaknya. Serangan tersebut disebabkan oleh adanya ledakan aktivitas listrik di luar batas normal di area otak tertentu yang menyebabkan bagian lobus temporalis mengalami pengalaman-pengalaman spiritual. Fenomana ini diperkuat dengan penelitian Pesinger (dalam Zohar, 2000) dengan memberikan rangsangan pada otak bagian lobus temporalis maka orang tersebut akan mengalami pengalaman spiritual.
Selama berlangsungnya trance terjadi perubahan-perubahan pernafasan, sikap duduk agak terarah ke belakang, kadang mata terbelalak yang hitam pindah ke atas. Pada kondisi ini orang yang bersangkutan terdapat gejala pengendapan kesadaran, penurunan ini diikuti dengan gejala gerak-gerak, hal ini bisa dicontohkan saat seseorang akan memasuki tidur terdapat gejala tarikan otot, goncangan-goncangan pada tangan dan kaki atau seluruh tubuh (Kartoatmodjo, 1995).
Beberapa aliran spiritual menggunakan trance sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran dan meningkatkan spiritualitas, serta pemusatan energi tenaga dalam. Seperti yang dilakukan oleh perguruan silat Gunung Jati mereka menggunakan metode getaran untuk membangkitkan energi yang tersimpan. Getaran fisik yang terjadi menurut perguruan tersebut dilakukan untuk memancing dan mempercepat tercapainya kondisi beresonansi (ikut begetar) fisik terhadap ruhani sehingga membentuk getaran yang selaras antara fisik dan ruhani. Keselarasan getaran ruhani dan fisik ini menghasilkan penyerapan, pengolahan dan polarisasi (pemusatan) energi, sehingga energi yang dihasilkan atau dihimpun akan jauh lebih besar, lebih padat dan lebih terkonsentrasi serta mempersingkat waktu yang diperlukan (wawancara dengan Guru Besar PSGJ, Feb 2003).
Dalam metode patrap ada salah satu metode yang digunakan yaitu metode gerak. Pada metode ini totalitas ke Allah tidak hanya sebatas kognitif dan afektif tapi diperkuat juga dengan dorongan gerak atau konatif sehingga saat menyambungkan diri (Dzikir dengan kekuatan fisik) dengan Allah kekuatannya akan berbeda dengan patrap duduk. Metode ini sering dilakukan di tempat yang luas biasanya lapangan atau di tepi pantai, dari hasil observasi penulis ketika peserta mempraktekan metode ini gerakan-gerakan yang muncul sangat keras seperti membanting diri, berputar sangat cepat, menjerit sekeras-kerasnya dan ada yang terjatuh kemudian kejang-kejang mirip seperti orang terserang epilepsi.
Menurut tinjauan penulis ketika patrap gerak berlangsung, terutama ketika memulai total ke Allah baik secara kognitif, afektif maupun konatifnya maka saraf yang berada di lobus temporalis dirangsang secara kuat, saraf di lobus temporalis ini oleh beberapa ahli disebut dengan god spot (titik tuhan). Ketika lobus temporalis ini disodori hal-hal yang bersifat spiritual akan menunjukkan aktivitasnya. Semakin kencang dan kuat rangsangan terhadap saraf di lobus temporalis ini maka loncatan listrik yang terjadi juga semakin besar, kondisi yang tidak stabil ini mengakibatkan goncangan fisik yang berupa kejang, dan gerakan-gerakan kasar serta tidak beraturan, disinilah terjadi trance secara sadar. Goncangan fisik yang terjadi tanpa kehendak patrapis akan menimbulkan pemahaman tersendiri bahwa dia memiliki kesadaran lain selain kesadaran fisik yang dipakai selama ini. Loncatan kesadaran ini membuka wawasan yang sangat luas bagi pelaku baik secara kognitif maupun emosinya. Disinilah terjadinya peningkatan kesadaran atau munculnya altered states of consciousness dan munculnya kesadaran transendensi. Kesadaran akan kekuatan diluar dirinya itulah menurut mereka merupakan kebenaran dari kalimat hauqolah : laa haula wallaa quwata illa billahil aliyyil adzim tidak ada kekuatan selain kekuatan dari Allah ta’ala yang maha agung.

Fenomena terhambatnya rasa sakit.
Pada saat seseorang bermeditasi maka perhatian penuh pada objek meditasinya, perhatian yang penuh ini menyebabkan seseorang kehilangan rangsang inderanya. Fenomena ini sering disebut dengan self hypnosis sebab dengan cara ini seseorang dapat menghipnosa dirinya sendiri sehingga ketika meditasi berlangsung dia tidak merasakan apapun meskipun tubuhnya kena rangsangan yang menyakitkan.
Teori kontrol pintu gerbang (gate-control theory) mengatakan bahwa hilangnya rasa sakit ketika seseorang bermeditasi karena adanya rangsang yang lebih besar dibanding rangsang dari luar tersebut yang menghambat rangsang tersebut masuk ke otak. Rangsang yang lebih besar pada saat seseorang bermeditasi adalah adanya ASC (altered states of consciousness) kondisi ini menimbulkan perasaan damai, tenang, dan menyenangkan sehingga menghambat rangsang yang masuk pada otak (Subandi, 2002).
Fenomena terhambatnya rasa sakit ini sering dialami oleh peserta patrap seperti tidak merasakan gigitan nyamuk ketika berpatrap (berdzikir), fenomena ini sangat kelihatan ketika berlangsungnya patrap gerak, beberapa kali penulis menyaksikan dari latihan yang dilakukan mereka tidak merasakan sakit ketika kepala terbentur dinding atau lantai. Bahkan beberapa dari peserta yang senior melakukan patrap gerak di jalan yang beraspal, mereka membanting, berputar, terbentur dan mereka tidak merasakan sakit ataupun terluka.

Penutup
Kajian-kajian psikologi yang lebih mendalam tentang transendensi masih sangat kurang. Luasnya lahan pengalaman transendensi dan sedikitnya orang yang mengalaminya menjadikan salah satu penyebab kajian-kajian transendensi bergerak lambat. Demikian pula kajian-kajian ilmiah isoterik keislaman juga jarang diulas bahkan kajiannya tidak mendapatkan tempat karena adanya fitnah bahwa hal tersebut berkaitan dengan khurafat dan takhayul serta tidak ilmiah. Tuduhan demikian, tanpa mau meninjau lebih dalam terhadap suatu fenomena alami sangat menghambat perkembangan psikologi islam dan membentuk suasana yang kurang sehat dalam kajian keilmuan. Mudah-mudahan artikel singkat ini memacu dan menambah semangat kita dalam mengkaji masalah-masalah spiritual keislaman sehingga psikologi islam tidak hanya berkutat pada bagaimana mencari format dan merumuskan konsep tapi lebih pada action menggali dunia psikologi islam secara riil.

Daftar Pustaka
Adi, Arif Wibisono, 2002. Psikologi Transpersonal : Kasus Sholat. makalah seminar

Anward, HH. 1997. Dzikrullah sebagai Jalan Mendapatkan Nur Ilahi: Suatu Transcendental being dan terapi. Makalah

Badri, Malik. 1996. Tafakur : Perspektif Psikologi (terjemahan). Bandung : Remaja Rosdakarya offset

Crapps, Robert W. 1993. Dialog Psikologi dan Agama (terjemahan). Kanisius : Yogyakarta

Effendi, Irmansyah. 2001. Kesadaran Jiwa. Jakarta : Gramedia

Haryanto, Sentot. 2001. Psikologi Sholat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Kaszaniak, Alfred., 2002. Altered States of Consciousness: Definition, Characteristic, and Induction Conditions. Class note

Kartoatmodjo, Susanto. 1995. Parapsikologi (parapsikologi, parergi dan data paranormal). Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Sangkan, Abu. 2002. Berguru Kepada Allah. Jakarta : Yayasan Bukit Thursina

Subandi, et al. 2002. Psikoterapi (kumpulan artikel). Yogyakarta : Unit Publikasi Faklutas Psikologi UGM.

Supardan. 1983. Paket biokimia. Malang : Lab Biokimia Universitas Brawijaya

Zohar, Danah., Marshal, Ian. 2000. SQ (memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan) terjemahan. Bandung : Mizan

5 comments:

aha said...

ok

aha said...

artikelnya bagus.
saya pengen diskusi lebih banyak lagi..

salam,
elisa di bandung

aha said...

:)

Muhammad Arief (maung) said...

Assalamulaikum pak purwanto. Salam kenal. Saya salut sama bapak karena penelitiannya lebih menekankan pengalaman-pengalaman spiritualitas dibandingkan hanya mendukung dogma agama saja (jarang sekali psikolog muslim seperti bapak). Semestinya hal tersebut yang lebih digali oleh psikolog-psikolog muslim. Terus buat penelitian spiritualitas lagi ya pak, sekali salut buat bapak.

Wawang Mudjiwalujo said...

Tulisan sudah bagus tapi hanya olah pikir dan di dasarkan daftar pustaka yang sudah ada. Contoh pemahamam dzikirulloh yang dikatakan di atas adalah ingat kepada Alloh dst. Padahal pemahaman seperti itu sudah umum di tulis di kitab dalam kitab.Contoh pemahaman baru dzikir itu adalah sadar, sadar melaksanakan perintah Alloh dan menjauhi larangan Alloh, umpama mobil,mobil yang tdak rusak dan tangkinya ada bensinnya sopirnya tinggal tancap gas jalan. bukan mobil yang mogok jalannya harus di dorong2.